
Film dan Tempat Kita di Dunia
Hip atau Cool adalah beberapa kosakata yang sering dipake untuk menyebut orang atau komunitas yang memiliki kriteria tertentu. Hip atau Cool dalam Bahasa Indonesia bisa diartikan dengan keren,walaupun artinya tidak persis seperti itu. Apakah saat ini kita termasuk orang yang keren? Atau sebelum menjawab pertanyaan itu, sebenarnya seberapa penting sih menjadi keren bagi kita? Bagaimana kita bisa menjadi keren atau tidak keren? Apa saja ukurannya? Siapa yang menentukan?
Berdasarkan pengalaman pribadi saja, sepertinya menjadi keren mungkin memang penting bagi saya. Pengalaman yang akan saya ceritakan ini tidak terjadi satu-dua kali saja tetapi berulang kali dan bahkan pada saat-saat interaksi saya dengan diri sendiri.
Saya sangat suka film. Sejak SD atau bahkan sebelum itu, sudah terbiasa menonton film. Sampai saat ini, saya masih sangat suka menonton film, bahkan bisa dibilang tiada hari tanpa menonton film. Film-film yang saya tonton berubah dari waktu ke waktu. Bisa dibilang, makin dewasa film-film yang saya tonton makin ‘serius’ dari segi tema, penceritaan, sinematografi, dan lain-lain. Saya menjadi tidak suka lagi film-film yang saya anggap ‘ringan.’ Pada banyak kesempatan, ketika teman atau saudara saya mempromosikan satu film yang menurut dia bagus, saya menanggapinya dengan datar saja. Saya ini
Hal yang sama terjadi pada interaksi saya dengan diri saya sendiri ketika saya mengunjungi tempat-tempat persewaan film. Kadang saya sangat ini menyewa film yang ‘ringan’ saja supaya terhibur, tapi akhirnya I ended up menyewa film-film ‘serius’ tadi. “Who am I kidding?” begitu kata saya pada diri saya sendiri, kadang dengan nada bangga, kadang dengan nada kecewa.
Akhirnya konsumsi memang masalah selera. Dan soal selera ini, saya punya pengalaman menarik yang lain. Saya meyakini bahwa selera itu dibentuk dan memang benar bahwa selera itu dibentuk. Masalahnya dibentuk oleh siapa? Masih berkaitan dengan film, saya meyakini bahwa selera saya akan film dibentuk dari kebiasaan saya menonton film sejak kecil, ketertarikan pada buku-buku, dan kesukaan berdiskusi. Dengan latar belakang seperti itulah saya saat ini menyukai film-film ‘serius’ yaitu film-film kelas festival dunia.
Keyakinan seperti ini yang membuat saya kadang memandang orang lain yang suka menonton film-film ‘ringan’ sebagai “tidak punya selera” dan oleh karenanya berada pada komunitas yang berbeda dengan saya dalam konotasi yang mengandung sikap menganggap baik atau menganggap buruk orang lain?
Maka tiba-tiba ‘punya selera’ menjadi terminology untuk menyebut komunitas yang ‘elite.’ Dan dengan menjadi bagian dari komunitas yang ‘elite’ saya menjadi “keren.” Lalu siapa yang menentukan itu elite atau tidak elite? Keren atau tidak keren? Siapa yang memberi ukuran? Berhakkah saya kemudian ikut-ikutan menilai orang lain?
Masih berkaitan dengan film, festival dan penghargaan film adalah salah satu penentu keren atau tidak kerennya, bagus atau tidak bagusnya sebuah film. Sebagai suatu hal yang diterima secara internasional, kita setuju saja bahwa film pemenang Oscar atau pemenang Festival De Cannes adalah film yang baik. Terlepas dari bahwa diantara sekian penghargaan film tersebut mereka punya ukuran ke-‘keren’-an sendiri-sendiri, paling tidak penghargaan-penghargaan film tersebut telah berhasil menciptakan standarisasi tertentu yang dapat diterima. Lagi pertanyaannya, siapa yang membuat mereka, para juri dan penyelenggara festival, punya otoritas untuk menjadi standarisasi? Tidakkah standarisasi itu bisa didebat? Lalu jika standarisasinya saja masih diperdebatkan, bagaimana dengan penikmat film yang most of the time hanya mengkonsumsi dan menggantungkan status ke-‘keren’-an diri pada standarisasi keren dan tidak keren yang ‘dapat diterima’ itu?
Untuk menjawab pertanyaan ini,
Di tengah perdebatan ini, saya memihak siapa? Sebagai sekadar konsumen, saya memilih untuk memihak Riri Reza dan kawan-kawan yang menolak hasil FFI. Mengapa? Simply, because saya lebih suka karya-karya mereka daripada karya yang menang FFI. “I mean, Ekskul jadi juara? Yang bener aja! Mereka itu
Pada pengalaman saya ternyata ketika saya pada posisi otonom, nyatanya saya tidak sepenuhnya otonom. Pilihan saya tetap dipengaruhi oleh standar-standar di atas standar festival, misalnya standar kedalaman nilai kemanusiaan yang terekam dalam tema-tema film dan lain sebagainya. Standar kedalaman nilai kemanusiaan itu kemudian ditentukan oleh wacana intelektual yang sedang dominan dan bisa diterima. Sebenarnya masih banyak yang bisa lebih jauh diperdebatkan, misalnya di luar dominasi wacana yang membentuk standar-standar ke-‘keren’-an, adakah standar kebagusan yang bisa diterima universal? Atau sebenarnya karya yang seperti apa yang benar-benar bisa dibilang baik? Namun perdebatan ini belum akan kita kupas saat ini.
Akhirnya kita melihat bahwa memilih film, keberpihakan terhadap sikap kelompok film tertentu adalah bagian dari tindakan konsumsi kita. Dan pada konsumsi kita membentuk identitas dan menceburkan diri pada tatanan masyarakat tertentu. Dengan mengkonsumsi kita menentukan tempat kita di dunia. Pada kasus film yang kita bahas ini, maka menonton film tertentu memberi kita tempat pada suatu masyarakat dan sekaligus memberi kita ruang untuk membentuk masyarakat tersebut. Masyarakat yang ‘keren’ dengan segala kriterianya menurut kita sendiri. Masyarakat ‘utopis’ yang kita bentuk melalui konsumsi film kita. Mengapa menceburkan diri dalam suatu masyarakat atau membentuk masyarakat itu?
Jawabannya adalah karena sebenarnya kita hanya ingin punya tempat. Maka menjawab pertanyaan di atas tentang seberapa penting untuk menjadi keren? Jawabannya adalah tidak penting. Yang penting adalah punya tempat. Perkara tempat itu memberi implikasi citra keren atau tidak keren nyatanya tidak terlalu penting karena itu hanyalah persoalan siapa yang berkuasa dan mendominasi wacana dan trend saat ini saja, sedangkan kebanyakan kita toh hanya mengkonsumsi, hanya bermain-main dengan, atau bahkan dimainkan oleh kelompok yang sedang dominan. *** Sakdiyah Ma’ruf (Jum’at, 28 Februari 2008)
Perdebatan selanjutnya:
Ketika mengkonsumsi kita otonom atau malah terjajah?
Sejauh mana proses negosiasi terjadi antara keinginan, hasrat, dan serbuan pilihan-pilihan item konsumsi baru?
Lalu bagaimana mengkontekstualisasikan ide-ide ini ke kondisi sosial yang lebih luas?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar