Memberantas korupsi di Indonesia bukanlah perkara yang sepele. Korupsi telah menghegemoni kehidupan masyarakat Indonesia. Korupsi muncul di (hampir) semua bagian masyarakat Indonesia. Tidak hanya dalam penanganan masalah sampah, korupsi juga merambah hingga dalam pembangunan rumah ibadah. Terbukti, Korupsi tidak hanya berada di wilayah profan namun juga ke bidang yang bersifat religius.
Yang patut dicatat, Korupsi muncul bukan hanya karena kesempatan namun juga karena adanya kemauan atau niat. Agama sebagai penjaga moral diharapkan mampu menjadi benteng bagi umat untuk melawan niat melakukan korupsi. Hal ini karena Islam juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya berdasarkan etika dan moral. Dalam agama Islam, dinyatakan bahwa mengambil yang bukan menjadi hak seseorang adalah dosa. Hal ini kemudian dijadikan sebagai pijakan dasar untuk melawan Korupsi.
Untuk itu, melawan koprupsi tidak hanya bisa dilakukan dengan merubah pandangan masyarakat atau umat. Yang lebih penting adalah merubah paradigma umat tentang korupsi dengan perspektif agama dan untuk merubah perpsepktif tentang agama itu sendiri. Hal ini karena korupsi tidak saja mencakup perliku ansich namun juga mencakup pola pikir. Fatwa yang menyatakan korupsi sebagai perbuatan haram bisa berubah jika tidak dilawan dengan upaya mengubah persepsi dan nalar manusia secara teologis.
Ibarat penyakit, korupsi di Indonesia sudah begitu akut dan menggerogoti semua sendi. Berdasarkan Transparancy International (TI) tentang Coruption Perception Index (CPI), pada tahun 2002 Indonesia berada di peringkat ke-enam terkorup dari 102 negara. Indonesia duduk sejajar dengan Bangladesh, Nigeria, Paraguay, Madagaskar dan Angola. Pada tahun 2004 kondisi Indonesia semakin parah terjerembab di urutan 135 dari 145 negara serta menduduki no 2 terburuk di Asia. Kondisi ini kian hari bukan kian membaik, namun justru semakin terperosok.
Menurut berbagai analisis pihak-pihak yang berkompeten, korupsi terjadi karena dua hal. Pertama pelaksanaan negara yang tidak transparan serta kontrol yang lemah sehingga menyuburkan lahan korupsi. Kedua pemberantasan korupsi yang canggung dan tidak memberikan efek jera terhadap koruptor. Pembuatan perangkat hukum berupa UU terbukti tidak berpengaruh signifikan. Punhalnya dengan pembentukan berbagai alat negara sebagai panglima dalam pemberantasan korupsi yang tidak mampu bekerja maksimal.
Kita mungkin cukup jengah penegakan supremacy hukum di Indonesia. Maka menyandarkan pemberantasan korupsi hanya melalui jalur hukum nampaknya masih seperti harus membenturkan kepala ke tembok tebal. Harus dipikirkan alternatif lain untuk melakukan gerakan mendobrak pelaku korup yang dianggap telah membudaya. Dengan melakukan perlawanan melalui budaya dan religi akan dihasilkan watak manusia-manusia yang ber-etika dan anti korupsi.
Agama bisa digunakan sebagai alternatif. Dalam Islam disebutkan bahwa korupsi merupakan perbuatan fasad yakni perbuatan merusak tatanan kehidupan yang pelakunya dikategorikan sebagai jinayah kubro. Menurut Islam, korupsi merupakan tindakan amoral yang bertentangan secara diametral dengan nilai luhur seorang muslim. Seorang muslim dituntut untuk bersifat al shadiq (jujur) dan al Amin (menjunjung amanah). Koruptor mempunyai sifat berkebalikan yaitu al thama (serakah) dan al Kadzib (penipu). Hal ini sejalan dengan prinsip Islam bahwa kekayaan negara harus di-tasharauff-kan dengan jujur untuk kemaslahatan umat.
Harta hasil kekayaan yang didapat dari korupsi termasuk harta yang haram. Katagori haram karena cara memperolehnya dengan jalan yang tidak benar. Namun, paradigma haram ini seringkali dipelintir. Harta yang cara memperolehnya haram selamanya akan tetap haram. Ma kharuma akhduhu kharuma ighdho luhu (sesuatu yang haram mengambilnya, haram pula memberikannya). Tidak ada alasan uang korupsi menjadi halal jika digunakan untuk kegiatan amal. Paradigma ini tentu saja akan menyuburkan korupsi di kalangan umat beragama.
Perilaku korupsi muncul sebagai bentuk penyelewengan terhadap amanah. Di dalam Al Qur’an Surat (QS) An Nisa 4; 58, disebutkan bahwa pemimpin mempunyai kewajiban untuk menyampaikan amanah kepada yang berhak. Demikian pula dengan QS Al Anfal, 8; 27 disebutkan kepada umat Islam untuk tidak mengkhianati amanat. QS Al Baqarah 2;283 juga mengatur agar umat menyampaikan amanah publik untuk kemaslahatan umat.
Penyelewengan terhadap amanah publik menjadi jinayah kubro. Korupsi dikatagorikan sebagai hirabah (perbuatan memerangi Allah dan Rosul) sebagaimana perbuatan qathu ath Thariq atau sariqah kubro (pencurian besar). Korupsi dikatagorikan sebagai perbuatan melawan Allah dan menjadi dosa besar karena mengancam jiwa dan harta banyak orang, menimbulkan kerusakan di bumi serta dampak yang diakibatkan lebih massif.
Islam sebagai agama eskatologis, mengajarkan kepada semua umatnya untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatannya. Dalam QS Al Maidah,5;42, disebutkan bahwa memakan harta korupsi sama dengan memakan barang haram. Sanksinya secara sosial; dikucilkan dari masyarakat, serta kesaksiaannya tidak lagi diakui. Bahkan, seorang koruptor secara moral dalam etika Islam diharapkan dikenai sanksi sebagai orang yang tercela dan tidak disholatkan jenazahnya ketika mati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar