Senin, 02 Juni 2008

Ketika Minyak Menentukan Semua Keputusan

Pengumuman kenaikan harga BBM oleh pemerintah pada 24 Mei 2008 ternyata masih menyisakan permasalahan dan kontra hingga sekarang. Berbagai daerah dan lapisan masyarakat seolah tak henti-hentinya memberikan komentar yang miring terhadap pemerintah saat ini. Betapa tidak, sejak SBY-JK berkuasa setidaknya 3 kali BBM (bahan bakar minyak) naik secara signifikan. Naiknya harga BBM dalam negeri dipicu harga minyak di pasaran internasional yang secara psikologis sangat dahsyat. Dampak dari kebijakan ini menurut bebeberapa pihak telah melahirkan masyaraklt miskin baru di Indonesia yang jumlahnya ternyata sangat fantastis. Komentar-komentar pro dan kontra semakin memperkeruh suasana yang “panik” dimasyarakat. Pemerintah ternyata juga tidak tinggal diam terhadap semua kritikan tersebut. Segala cara ditempuh pemerintah untuk mengkounter wacana negatif yang berkembang. Statemen-statemen pejabat silih berganti menghiasi televisi kita tiap harinya.

Pemerintah punya dalih bahwa kenaikan harga BBM ini adalah satu-satunya solusi untuk mengurangi defisit APBN akibat beban subsidi yang tersedot. Selain itu melaui jubir pemerintah, saat ini pemrintah akan mengubah paradig selama ini dari subsidi barang mengjadi subsidi manusia. “bukan barang yang kita subsidi tapi orang miskin yang akan kita subsidi.” Pengurangan subsidi BBM akan dialihkan untuk penguatan ekonomi masyarakat miskin, ancang-ancang kebijakan pemerintah untuk menghadapi gelombang protes ini adalah penggelondoran BLT (bantuan langsung tunai) kepada masyarakat miskin, dan aneka kebijakan yang pro masyarakat miskin lainnya. Selain itu pemerintah juga mengajak masyarakat miskin khususnya yang menerima BLT untuk membantu pemerintah dalam upaya meredam berbagai gejolak sosial akibat naiknya harga BBM. Ini merupakan upaya manuver politik yang sangat berbahaya dan tidak sepantasnya dilontarkan para pemimpin yang berkuasa saat ini. BLT saat ini merupakan tahap kedu yang sebelumnya pernah juga dilakukan pemrintah pada tahun 2005. carut masut distribusi BLT pada waktu itu sampai sekarang masih menyisakan beban traumatis bagi masyarakat bawah, tak heran beberapa pejabat lokal seperti bupati dan kepala desa banyak yang protes tidak akan menerima BLT.

Alih-alih memberikan penenangan kepada masyarakat di tengah kepanikan masyarakat, manuver-manuver pemerintah sepertinya menambah kebingunan masyarakat. Bahkan Wapres Jusuf Kalla masih mengindikasikan harga BBM sangat mungkin untuk kembali di naikkan pada waktu mendatang. Lalu sebuah pertanyaan besar tiba-tiba menggelinding dibenak saya, Apa sebenarnya hubungan naiknya harga BBM dengan kondisi ekonomi kita?negeri ini nampaknya semakin sulit lepas dari ketergantungan minyak. Setelah pada tahun 1970an hingga 1980an kita seoalah terlena dengan naiknya harga minyak bumi yang ternyata semberikan keuntungan yang luar biasa. Bonanza minyak bumi begitu istilah waktu itu dan pertamina dengan trah Sutoya seolah-olah bak raja dalam negara yang sangat berkuasa.

Waktu itu naiknya harga minyak bumi yang “gila-gilaan mampu menjadi berkah. Kita lupa masuknya investor asing dalam ekplorasi minyak bumi menjadikan bangsa kita bak keledai yang begitu bodohnya masuk dalam perangkap asing. Baru akhir-akhir ini diketahui publik bahwa kerjasama jangka panjang yang ditandatangani pertamina ternya sangat kecil dan tidak berimbang masuknya pundi-pundi kas ke negara dengan hasil dari ekplorasi minyak bumi. Belum lagi praktik kolusi dan korupsi yang sudah membatu ditubuh pertamina. Apes memang bagi generasi sekarang yang merasakan dampaknya buruk lonjakan harga minyak dipasaran dunia.

Puncak paceklik barang kali memang sedang di tangan SBY-JK tetapi seharusnya pemerintah tetap punya komitment dan konsekuensi kongkrit untuk menanggulangi dampak yang ditimbulkan dari naiknya harga BBM. Situasi sekarang memang penuh dengan keruwetan dan timpang tindih, bagaimana tidak harga bensin, solar dan minyak tanah yang naik sebesar 28% ternyata mampu menggoyang semua harga kebutuhan pokok. Beras naik, minyak goreng langka, cabe naik dan lain-lain. Apalagi pupuk untuk petani, langka!

Pangkal naiknya bahan pangan tersebut menurut opini masa adalah karena biaya distribusi barang yang juga berimbas naik. Harga solar naik, otomatis biaya untuk ekspedisi juga naik, tidak bisa tidak, belum lagi baiknya harga BBM pasti juga diikuti dengan naiknya harga semua spare part kendaraan. Situasi seperti inilah yang seharusnya diantisipasi pemerintah saat ini. BLT ataupun segala program turunan lainya secara sistemik dan logis pasti membantu bagi si penerima bahkan secara langsung. Tetapi jika pola-pola pergerakan ekonomi yang terkit sangat erat dengan harga BBM imbasnya sampai ke semua aspek BLT seperti sia-sia, ibarat “mbedah bendungan numpak debok” (memberikan solusi tetapi juga memberikan dampak buruk yang tidak terkendali)

Melihat peristiwa naiknya harga BBM sebelumnya semestinya pemerintah banyak belajar dari sana. Bensin, solar dan minyak tanah saat ini sulit dilepaskan dari jeratan sosial ekonomi masyarakat. Ketergantungan yang berlebihan terhadap sektor ini telah “memanjakan prilaku kita” hingga begitu sensitif ketika tersentuh atau terusik. Karena bisa jadi mungkin BBM berimbas pada dunia pendidikan. Biaya pendidikan mahal, etos kerja pendidik menurun karena himpitan harga kebutuhan pokok, semangat pendidikan itu sendiri yang bergeser hanya untuk tujuan ekonomi semata. Ironis memang, tapi inilah Indonesia, semuanya menjadi mungkin karena BBM. Belum lagi permasalahan kebutuhan pokok untuk anak-anak, orang dewasa semakin lebih sibuk memikirkan kebutuhannya sendiri pastinya.

Sulit membayangkan apa jadinya jika pola-pola rentetan naiknya berbagai seperti sekarang ini terus terjadi. Tugas pemerintah memang cukup berat untuk mencegah hal ini terus berlanjut. Dimasa mendatang pasti minyak bumi akan menjadi baggian dari cerita sejarah, karena energi perlu waktu jutaan tahun untuk terlahir kembali. Kearifan dan mengedepankan keadilan seyogyanya dijadikan patokan pemerintah dalam menjawab setiap persoalan##Irfanudin Wahyudi