Kamis, 28 Februari 2008

Intelektual Muslim dan Liberalisme Islam


Intelektual muslim sebagai high social class adalah masinis dalam gerbong “perubahan”. Mereka tidak lain adalah golongan dengan pemikiran terbuka yang tanggap terhadap perubahan.

Tesis tentang peranan intelektual tidak bisa lepas dari pemikiran Francis Bacon (1561-1626) melalui slogan “knowledge is power” atau dari Michel Foucault (1926-1985) dengan slogan yang sebaliknya “power is knowledge.” Diantara keduanya terdapat perbedaan dalam menanggapi relasi antara ilmu pengetahuan dan kekuasaan dimana di antara keduanya terjadi kompleksitas .

Kompleksitas antara ilmu pengetahuan dan kekuasaan terjadi juga dalam intelektual Islam. Meminjam pemikiran Yudi Latif dalam bukunya, The Muslim Intelegensia of Indonesia: A Genealogy of Its Emergence in the 20th century, latif secara proleptik mengatakan, perjuangan kultural intelegensia Muslim bisa jadi tak diorientasikan semata-mata demi kebenaran atau tujuan keagamaan, tetapi juga demi kepentingan kuasa. Namun yang patut dicatat di sini adalah adanya perkembangan wacana liberalisme Islam.

Intelektual Islam dan Tanggungjawab Sejarah

Sejarah telah membuktikan peran Intelektual muslim—khususnya di Indonesia—sebagai aktor yang memegang peran besar dalam drama sejarah. Hal ini dapat dilihat dari munculnya generasi pertama intelektual muslim di Indonesia yang diwakili oleh Haji Oemar Said Tjokroaminoto dan Agus Salim. Tjokro dan Salim dengan pemikiran sosialisme islam, pada masa kolonialisme Belanda menjadi katarsis pemikiran nasionalisme Indonesia dalam melawan penjajahan.

Salim dan Tjokro yang mendapatkan pendidikan barat dari sekolah misionaris Kristen dibujuk untuk patuh dan taat pada politik asosiasi Belanda. Terjadi perdebatan pemikiran di dalam diri keduanya dan mereka menyadari harus ada peremajaan Islam agar islam dapat bertahan. Keduanya kemudian menyatakan bahwa intelektual Muslim berada dan bergulat karena hendak berdialog dengan zamannya (saat itu, ide kemadjoean), dan persis di situlah Islam harus pula diremajakan (tanpa harus melepas prinsip dasarnya). Mereka kemudian mengajarkan Islam melalui aktivitas publik mereka di Sarekat Islam. Dalam perkembangannya, Islam kemudian diajarkan di Sekolah-sekolah seperti dilakukan oleh Muhamadiyah maupun NU.

Generasi kedua Intelektual Muslim muncul pada tahun 1950-an yang diwakili oleh M. Natsir, M. Roem dan K. Singodimedjo. Perdebatan konsepsi tentang “ke-Indonesiaan”—yang melahirkan piagam Jakarta—pasca proklamasi melahirkan inteletual muslim yang sadar akan nasionalisme Indonesia. Tanpa kesadaran akan nasionalisme Indonesia, negara kesatuan Indonesia yang dicita-citakan tidak akan terwujud karena terkotak oleh sekat agama.

Jika pada dua periode sebelumnya intelektual muslim didominasi oleh golongan tua, pada periode ke tiga, intelektual muslim diambil alih oleh generasi muda. hal ini terjadi karena intelektual muda muncul dari pendidikan yang sudah dikelola oleh negara Indonesia. Generasi Ketiga diwakili oleh Lafran Pane, A Tirtosudiro dan Jusdi Ghazali pada 1960-an yang merupakan didikan dari generasi kedua intelektual muslim Indonesia seperti dilakukan Natsir melalui Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia yang didirikannya pada tahun 1967.

Periode generasi ketiga ditandai dengan munculnya organisasi kaum muda dan mahasiswa Islam. Sebagai contoh adalah Lafran Pane yang mendirikan HMI, ataupun Mahbub Djunaidi yang mendirikan IPNU/PMII. Munculnya organisasi mahasiswa dan pemuda yang berbasic islam melahirkan kader muslim yang dilatih menjadi pemimpin gerakan dakwah dan masjid kampus dan menjadi generasi ke empat intelektual muslim yang diwakili oleh Nurcholish Majid, Djohan Efendi, Dawam Rahardjo, Ahmad Wahib dimana pada masa generasi ini, pemikiran tentang keislaman berkembang pesat. Namun, hanya generasi ini memunculkan intelektual dari kalangan mahasiswa karena generasi berikutnya banyak di dominasi oleh campur tangan negara seperti ICMI.

Intelektual Muslim dalam Pusaran Kekuasaan

Dari sejarah intelektual Islam dapat diketahui, golongan ini mempunyai andil besar dalam proses perubahan. Namun kompleksitas antara ilmu dan kekuasaan menjadi problem sistemik yang menggerogoti perjalanan intelektual. Julian Benda dalam bukunya The Betrayal of Intelectual mengatakan “la trahison de la clerks,” terhadap intelektual yang berselingkuh dengan dengan kekuasaan.

Intelektual muslim pada masa tahun 1970-an terseret dalam arus pusaran kekuasaan. Hal ini tidak lain dari upaya penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya dengan melibatkan intelektual—termasuk intelektual muslim—di dalam kekuasaannya. Masa konsolidasi pemerintahan orde baru Islam bisa merembes masuk ke dalam kekuasaan karena pada masa ini berkembang aktivitas di masjid-masjid kampus negeri. Selain itu juga ada proses saling mendekat (rapprochement) dengan para birokrat sehingga embrio blok dalam kaum intelegensia Muslim pun tumbuh di tubuh tambun Orde Baru.

Gerakan intelektual muslim yang terorganisir dalam gerakan pemuda dan mahasiswa Islam kemudian lebih diarahkan untuk kepentingan politik. Loby-loby dan usaha untuk memperluas relasi kekuasaan justru semakin mengemuka. Kegiatan dukung mendukung digunakan untuk legitimasi atas kekuasaan dan bahkan Islam kemudian digunakan kepentingan politik. Golongan intelektual muslim yang tidak mau tenggelam dalam pusaran kekuasaan kemudian lebih menyibukkan diri mereka dengan melakukan kajian-kajian keislaman.

Nurkholis Madjid pada tahun 1970 selepas studinya di Amerika melihat perkembangan yang terjadi di kalangan intelektual Islam kemudian mengenalkan semboyan “Islam Yes, Partai Islam... no”! dengan pemikirannya ini, Alm Cak Nur—biasa Nurcholis Madjid di panggil—menjadi tokoh pembaharu Islam dengan sikapnya yang moderat dan mendukung sekularisme.

Perselingkuhan antara intelektual muslim dengan kekuasaan terlihat jelas dalam tubuh ICMI. Bahkan saat itu berkembang paradigma ijo-royo-royo (hijau banget) di kalangan birokrat negara. Intelektual muslim yang tergabung dalam ICMI kemudian Islam sebagai cantolan ideologi dan kunci untuk membuka pintu kekuasaan.

Aksi ini kemudian ditentang oleh golongan yang dimotori Abdurrachman Wahib (Gus Dur) melalui gerakan Pro Demokrasi. Gus Dur bahkan memompa memompa generasi muda NU dengan matriks liberal, yang siap melakukan vermak atas baju Islam dan kritik atas tradisinya sendiri. Arus inilah yang pada akhirnya melahirkan generasi intelektual kontemporer

Quo Vadis Intelektual Muslim

Tenggelamnya intelektual muda Islam dalam pusaran kekuasaan dan kepentingan politik hingga saat ini masih terjadi. Hal ini karena tidak berubahnya konsep politik Patron-Client. Golongan intelektual muda muslim yang berkembang di kampus-kampus di Indonesia masih sangat menjunjung patronase.

Perdebatan yang mengemuka adalah persoalan tentang kepemimpinan dan harakah yang paling berpengaruh, ialah harakah yang dipengaruhi Ikhwanul Muslimin, yakni Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dan partai politiknya, Partai Keadilan Sejahteran (PKS) (Yudi Latif: 2005). Hal tersebut terjadi karena adanya hubungan simbiose mutualisme, patron menggunakan massa di bawah untuk legitimasi kekuasaan sedangkan client menganggapnya sebagai jalur cepat untuk berkuasa.

Wacana ini tidak dibarengi dengan counter wacana tentang pemikiran islam. Akibatnya, intelektual muda islam yang saat ini terbaca adalah intelektual yang berafiliasi untuk kepentingan politik. Golongan ini semakin menggurita dengan memasuki wilayah internal kampus melalui lembaga syiar islam ataupun dewan dakwah kampus.

Hubungan patronase ini juga mengakibatkan adanya pemahaman terhadap islam yang bersifat konservatif sesuai dengan apa yang diartikan oleh pimpinan mereka. Semangat jiwa jaman tidak mampu mempengaruhi dan mengubah pemahaman golongan ini dalam mengartikan Islam. Cara berfikir ini menurut Amien Rais ataupun Gus Dur sangatlah tidak tepat. Menurut mereka baju islam sangat sempit sehingga baju Islam harus dikaitkan dan dijahitkan secara kreatif dengan diskursus di luar dirinya.

Diskursus inilah yang kemudian banyak dipakai oleh intelektual muda islam dari kalangan NU (tergabung dalam JIL) dan Muhammadiyah (tergabung dalam JIMM). Mereka menagalami proses liberalisasi dalam tingkatan yang belum pernah terjadi sebelumnya dan mereka berkolaborasi dengan intelektual muda dari latar yang berbeda. Golongan ini terbuka terhadap kondisi global postmodern menjadi lebih mendalam apresiasiatif terhadap nilai-nilai liberal dan sekuler Barat.

Namun, pertarungan antara golongan liberal dengan lawannya tidak homogen. Hal ini terjadi karena rivalitas para pengikutnya baru sebatas masalah manhaj (metode penalaran). Namun yang pasti sampai kapan perbedaan pendapat di kalangan intelektual muda Islam ini akan berakhir? Akan dibawa ke arah mana perkembangan permikiran Islam di masa mendatang?

Strategi Kebudayaan dalam Terpaan Globalisasi

Gombalisasi Globalisasi adalah sebuah keniscayaan sejarah. Siap atau tidak, semua negara di dunia akan menghadapinya. Di saat iklim kompetisi terbuka lebar, membangun ketahanan mutlak diperlukan. Strategi kebudayaan bisa dijadikan benteng, jika tidak ingin luluh lantak diterjang badai globalisasi.

Orasi Dawam Rahardjo, Kamis (26/7) di Institute Global Justice setidaknya menyadarkan kita untuk membangun strategi kebudayaan dalam persaingan global. Menurut Dawam, Indonesia harus mempunyai strategi kebudayaan agar mampu bersaing dalam era globalisasi. Indonesia sebenarnya mempunyai asset yang luar biasa. Sebagai negara yang plural dalam kebudayaan, Indonesia seharusnya menjadi negara yang besar.

Dalam orasinya, Dawam mengatakan bahwa strategi kebudayaan harus dibangun dengan melihat kekuatan dan kelemahan sumber daya yang dimiliki bangsa Indonesia. Pembangunan harus dilaksanakan namun tanpa melupakan pembangunan karakter bangsa. Caracter building menjadi pekerjaan rumah yang wajib dilakukan pemerintah agar negara ini mampu bersaing dengan negara lain. Pemerintah saat ini hanya mengedepankan pembangunan fisik tanpa mengindahkan pembangunan kebudayaan.

Pemerintah dalam hal ini seharusnya mengambil peran dalam perumusan strategi kebudayaan. Strategi kebudayaan dapat diarahkan melalui political culture and national identity (Politik Kebudayaan dan Identitas Nasional). Melalui political culture, arah strategi kebudayaan dapat digunakan sebagai kekuatan untuk bertahan dari serbuan kebudayaan asing. Political culture akan mampu didorong untuk menciptakan national identity sebagai nilai yang dijadikan patokan dalam persaingan global. Bahkan, national identity, bisa dijadikan trade mark untuk memperkenalkan Indonesia ke dunia internasional.

Bicara political culture and national identity bangsa Indonesia dapat belajar dari sejarah Soekarno. Pada tahun 1960-an, Soekarno dengan lantang menyatakan Kebudayaan sebagai salah satu alat dalam perjuangan revolusi Indonesia (Manipol USDEK). Kebudayaan Indonesia harus menjadi kebudayan yang bersifat “ofensif revolusioner” dan menjadi alat revolusi dalam melawan imperialisme kebudayaan. Politik kebudayaan pada masa itu dibangun untuk melawan serbuan kebudayaan asing yang dianggap merusak kebudayaan nasional. Maka, Soekarno saat itu kemudian melarang lagu rock and roll, ngak-ngik-ngok ala Beatles, dansa-dansi, rok span, rambut sasak, film Amerika dll.

Menurut Soekarno, kebudayaan asing tersebut menciptakan cross boy-cross girl yang tidak sesuai dengan budaya bangsa Indonesia. Budaya asing terbukti memberikan efek negatif berupa perilaku kriminal, semacam pemerkosaan, perampokan dll. Untuk membendungnya, Soekarno memerintahkan rakyat untuk membangun dan memberdayakan kebudayaan nasional yang dibangun dari kebudayaan daerah. Kebudayaan daerah yang dibangun dengan local genius masyarakat dianggap cocok dan mampu menjadi benteng hegemoni budaya asing.

Pemerintah saat ini seharusnya belajar dari pengalaman sejarah. Kebudayaan terbukti menjadi alat yang ampuh dalam konstelasi persaingan di dunia. Namun, pemerintah saat ini terbukti menganak-tirikan political culture. Karena jaman sudah berubah, political culture saat ini tidak perlu se-agresif masa revolusi. Namun, tetap saja pemerintah harus mempunyai arah strategi kebudayaan yang jelas. Melindungi kebudayaan daerah dan memberdayakannya untuk kepentingan pembangunan negara.

Sebagai contoh political culture bisa dilaksanakan dengan menjadikan asset-asset kebudayaan sebagai promosi wisata untuk memperkenalkan Indonesia. Promosi ini tidak saja akan mengenalkan Indonesia ke dunia internasional. Lebih dari itu, Indonesia akan memetik keuntungan dengan masuknya fulus dari kantong wisatawan asing yang berkunjung untuk menikmati kebudayaan Indonesia. Political culture seharusnya dikemas selaras dengan kepentingan pembangunan bangsa.

Poemerintah Indonesia nampaknya belum mengarahkan political culture dengan baik. Terbukti, Baru-baru ini kita cukup dikejutkan dengan polling sebuah lembaga perjalanan wisata internasional. Borobudur yang diakui UNESCO sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia tidak masuk dalam nominasi. Hal ini bisa dikatakan, upaya pemerintah untuk mengenalkan assetnya tidak dilakukan dengan serius. Padahal, Borobudur dengan kesenian masyarakat local menjadi asset yang berharga untuk memperkenalkan Indonesia.

Kondisi ini diperparah dengan stabilitas keamanan di Indonesia yang tidak jelas. Isu terorisme menjadi momok yang menyeramkan bagi dunia internasional. Travel warning dikeluarkan untuk mencegah warga asing datang ke Indonesia karena dianggap sebagai sarang teroris yang berbahaya. Akibatnya, Indonesia bukan dikenal sebagai negara yang aman untuk dikunjungi sehingga jumlah kunjungan wisata semakin menurun.

Pemerintah seharusnya kreatif memanfaatkan kebudayaan untuk kepentingan nasional. National identity diperlukan untuk memperkenalkan Indonesia. Jika Arab terkenal dengan tari perutnya, Brazil dikenal dengan musik tangonya, Indonesia seharusya dikenal dengan asset kebudayaan local yang ada di dalamnya. Kita perlu belajar dari festival Rio De Jeneiro, Festival Adu Banteng yang mendatangkan keuntungan besar. Indonesia mempunyai banyak agenda kebudayaan yang sebenarnya tidak kalah dengan fesitival tersebut.

Pemerintah Indonesia agar tetap bertahan perlu menyusun strategi kebudayaan dengan menjalankan Politik kebudayaan untuk menciptakan identitas nasional. Yang pasti, dengan political culture and national indentity, bangsa Indonesia akan mampu bersaing dengan bangsa lain di dunia. Kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia ini harus giat memperkenalkannya jika tidak ingin kita dihempas badai globalisasi.

Permainan Hidup

Permainan Hidup

Heaven Hidup tak ubahnya sebuah permainan. Ia memaksa siapapun yang terlempar ke dalamnya untuk mengikuti permainan.

Mereka harus ikut bermain hingga peran yang harus dimainkannya berakhir. Dalam permainan bernama “Hidup” setiap invidu mempunyai mempunyai peran masing-masing. Seperti syair lagu Nicky Astri Panggung Sandiwara bahwa “setiap insan punya satu peranan yang harus dimainkan.”


Permainan bernama “Hidup” begitu komplek. Ada banyak cerita dan peran yang harus dimainkan oleh masing-masing individu. Permainan individu ini, satu sama lain terhubung dalam “Permainan” yang lebih besar bernama “Kehidupan”. Dalam Kehidupan ada aturan-aturan yang musti ditaati. Jika tidak percaya, coba saja baca novel "Match Made in Heaven" karya Bob Mitchell yang diterbitkan oleh Penerbit Ufuk

Dalam buku tersebut digambarkan seorang individu bernama Eliot Goodman. Eliot terserang penyakit jantung yang hamper saja menyeretnya ke akhir permaianan. Ia hamper saja game over. Namun, Tuhan memberi kesempatan kepada Eliot untuk berperan dalam permainan dengan syarat, Eliot harus mampu mengalahkan Tuhan dalam permainan Golf delapanbelas lubang.

Yang menarik, Tuhan tidak turun tangan sendiri dalam permainan tersebut. Ia mewakilkannya kepada Leonardo da Vinci, William, Claude Dukenfield, Musa, John Lennon, Sigmund Freud, Edgar Allan Poe, Socrates, Pablo Picasso, Abraham Lincoln, Ludwig Von Beethoven, William Shakespeare, George Herman Ruth Jr., Christoforus Colombus, Mahatma Gandhi dan William Benjamin Hogan.

Dalam setiap tahapan, Eliot tidak saja bermain Golf ansich. Eliot bermain tentang filosofi kehidupan yang diperoleh dari interaksi Elliot dengan musuh-musuhnya. Setiap musuh memberi Elliot refleksi berupa pandangan baru untuk bekal melanjutkan hidup. Dari Colombus, Eliot belajar tentang: "History knows of no man who ever like did the like". Hanya mereka yang benar-benar berbeda dan sadar akan keberbedaannya, akan tercatat dalam sejarah. Sisanya, yang terjebak dalam kerumunan, akan hilang seiring usainya `permainan' hidup mereka.

Karena hidup tak lebih dari permaianan, bermainlah dengan baik. Berperanlah sebagai pemain yang handal untuk memenangkan permainan. karena kita hanya satu pemain dari jutaan pemain lain. Sama seperti Tuhan mengajari Eliot untuk bermain dengan cantik demi kehidupannya..