Kamis, 28 Februari 2008

Strategi Kebudayaan dalam Terpaan Globalisasi

Gombalisasi Globalisasi adalah sebuah keniscayaan sejarah. Siap atau tidak, semua negara di dunia akan menghadapinya. Di saat iklim kompetisi terbuka lebar, membangun ketahanan mutlak diperlukan. Strategi kebudayaan bisa dijadikan benteng, jika tidak ingin luluh lantak diterjang badai globalisasi.

Orasi Dawam Rahardjo, Kamis (26/7) di Institute Global Justice setidaknya menyadarkan kita untuk membangun strategi kebudayaan dalam persaingan global. Menurut Dawam, Indonesia harus mempunyai strategi kebudayaan agar mampu bersaing dalam era globalisasi. Indonesia sebenarnya mempunyai asset yang luar biasa. Sebagai negara yang plural dalam kebudayaan, Indonesia seharusnya menjadi negara yang besar.

Dalam orasinya, Dawam mengatakan bahwa strategi kebudayaan harus dibangun dengan melihat kekuatan dan kelemahan sumber daya yang dimiliki bangsa Indonesia. Pembangunan harus dilaksanakan namun tanpa melupakan pembangunan karakter bangsa. Caracter building menjadi pekerjaan rumah yang wajib dilakukan pemerintah agar negara ini mampu bersaing dengan negara lain. Pemerintah saat ini hanya mengedepankan pembangunan fisik tanpa mengindahkan pembangunan kebudayaan.

Pemerintah dalam hal ini seharusnya mengambil peran dalam perumusan strategi kebudayaan. Strategi kebudayaan dapat diarahkan melalui political culture and national identity (Politik Kebudayaan dan Identitas Nasional). Melalui political culture, arah strategi kebudayaan dapat digunakan sebagai kekuatan untuk bertahan dari serbuan kebudayaan asing. Political culture akan mampu didorong untuk menciptakan national identity sebagai nilai yang dijadikan patokan dalam persaingan global. Bahkan, national identity, bisa dijadikan trade mark untuk memperkenalkan Indonesia ke dunia internasional.

Bicara political culture and national identity bangsa Indonesia dapat belajar dari sejarah Soekarno. Pada tahun 1960-an, Soekarno dengan lantang menyatakan Kebudayaan sebagai salah satu alat dalam perjuangan revolusi Indonesia (Manipol USDEK). Kebudayaan Indonesia harus menjadi kebudayan yang bersifat “ofensif revolusioner” dan menjadi alat revolusi dalam melawan imperialisme kebudayaan. Politik kebudayaan pada masa itu dibangun untuk melawan serbuan kebudayaan asing yang dianggap merusak kebudayaan nasional. Maka, Soekarno saat itu kemudian melarang lagu rock and roll, ngak-ngik-ngok ala Beatles, dansa-dansi, rok span, rambut sasak, film Amerika dll.

Menurut Soekarno, kebudayaan asing tersebut menciptakan cross boy-cross girl yang tidak sesuai dengan budaya bangsa Indonesia. Budaya asing terbukti memberikan efek negatif berupa perilaku kriminal, semacam pemerkosaan, perampokan dll. Untuk membendungnya, Soekarno memerintahkan rakyat untuk membangun dan memberdayakan kebudayaan nasional yang dibangun dari kebudayaan daerah. Kebudayaan daerah yang dibangun dengan local genius masyarakat dianggap cocok dan mampu menjadi benteng hegemoni budaya asing.

Pemerintah saat ini seharusnya belajar dari pengalaman sejarah. Kebudayaan terbukti menjadi alat yang ampuh dalam konstelasi persaingan di dunia. Namun, pemerintah saat ini terbukti menganak-tirikan political culture. Karena jaman sudah berubah, political culture saat ini tidak perlu se-agresif masa revolusi. Namun, tetap saja pemerintah harus mempunyai arah strategi kebudayaan yang jelas. Melindungi kebudayaan daerah dan memberdayakannya untuk kepentingan pembangunan negara.

Sebagai contoh political culture bisa dilaksanakan dengan menjadikan asset-asset kebudayaan sebagai promosi wisata untuk memperkenalkan Indonesia. Promosi ini tidak saja akan mengenalkan Indonesia ke dunia internasional. Lebih dari itu, Indonesia akan memetik keuntungan dengan masuknya fulus dari kantong wisatawan asing yang berkunjung untuk menikmati kebudayaan Indonesia. Political culture seharusnya dikemas selaras dengan kepentingan pembangunan bangsa.

Poemerintah Indonesia nampaknya belum mengarahkan political culture dengan baik. Terbukti, Baru-baru ini kita cukup dikejutkan dengan polling sebuah lembaga perjalanan wisata internasional. Borobudur yang diakui UNESCO sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia tidak masuk dalam nominasi. Hal ini bisa dikatakan, upaya pemerintah untuk mengenalkan assetnya tidak dilakukan dengan serius. Padahal, Borobudur dengan kesenian masyarakat local menjadi asset yang berharga untuk memperkenalkan Indonesia.

Kondisi ini diperparah dengan stabilitas keamanan di Indonesia yang tidak jelas. Isu terorisme menjadi momok yang menyeramkan bagi dunia internasional. Travel warning dikeluarkan untuk mencegah warga asing datang ke Indonesia karena dianggap sebagai sarang teroris yang berbahaya. Akibatnya, Indonesia bukan dikenal sebagai negara yang aman untuk dikunjungi sehingga jumlah kunjungan wisata semakin menurun.

Pemerintah seharusnya kreatif memanfaatkan kebudayaan untuk kepentingan nasional. National identity diperlukan untuk memperkenalkan Indonesia. Jika Arab terkenal dengan tari perutnya, Brazil dikenal dengan musik tangonya, Indonesia seharusya dikenal dengan asset kebudayaan local yang ada di dalamnya. Kita perlu belajar dari festival Rio De Jeneiro, Festival Adu Banteng yang mendatangkan keuntungan besar. Indonesia mempunyai banyak agenda kebudayaan yang sebenarnya tidak kalah dengan fesitival tersebut.

Pemerintah Indonesia agar tetap bertahan perlu menyusun strategi kebudayaan dengan menjalankan Politik kebudayaan untuk menciptakan identitas nasional. Yang pasti, dengan political culture and national indentity, bangsa Indonesia akan mampu bersaing dengan bangsa lain di dunia. Kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia ini harus giat memperkenalkannya jika tidak ingin kita dihempas badai globalisasi.

Tidak ada komentar: