Intelektual muslim sebagai high social class adalah masinis dalam gerbong “perubahan”. Mereka tidak lain adalah golongan dengan pemikiran terbuka yang tanggap terhadap perubahan.
Sejarah telah membuktikan peran Intelektual muslim—khususnya di Indonesia—sebagai aktor yang memegang peran besar dalam drama sejarah. Hal ini dapat dilihat dari munculnya generasi pertama intelektual muslim di Indonesia yang diwakili oleh Haji Oemar Said Tjokroaminoto dan Agus Salim. Tjokro dan Salim dengan pemikiran sosialisme islam, pada masa kolonialisme Belanda menjadi katarsis pemikiran nasionalisme Indonesia dalam melawan penjajahan.
Salim dan Tjokro yang mendapatkan pendidikan barat dari sekolah misionaris Kristen dibujuk untuk patuh dan taat pada politik asosiasi Belanda. Terjadi perdebatan pemikiran di dalam diri keduanya dan mereka menyadari harus ada peremajaan Islam agar islam dapat bertahan. Keduanya kemudian menyatakan bahwa intelektual Muslim berada dan bergulat karena hendak berdialog dengan zamannya (saat itu, ide kemadjoean), dan persis di situlah Islam harus pula diremajakan (tanpa harus melepas prinsip dasarnya). Mereka kemudian mengajarkan Islam melalui aktivitas publik mereka di Sarekat Islam. Dalam perkembangannya, Islam kemudian diajarkan di Sekolah-sekolah seperti dilakukan oleh Muhamadiyah maupun NU.
Generasi kedua Intelektual Muslim muncul pada tahun 1950-an yang diwakili oleh M. Natsir, M. Roem dan K. Singodimedjo. Perdebatan konsepsi tentang “ke-Indonesiaan”—yang melahirkan piagam Jakarta—pasca proklamasi melahirkan inteletual muslim yang sadar akan nasionalisme Indonesia. Tanpa kesadaran akan nasionalisme Indonesia, negara kesatuan Indonesia yang dicita-citakan tidak akan terwujud karena terkotak oleh sekat agama.
Jika pada dua periode sebelumnya intelektual muslim didominasi oleh golongan tua, pada periode ke tiga, intelektual muslim diambil alih oleh generasi muda. hal ini terjadi karena intelektual muda muncul dari pendidikan yang sudah dikelola oleh negara Indonesia. Generasi Ketiga diwakili oleh Lafran Pane, A Tirtosudiro dan Jusdi Ghazali pada 1960-an yang merupakan didikan dari generasi kedua intelektual muslim Indonesia seperti dilakukan Natsir melalui Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia yang didirikannya pada tahun 1967.
Periode generasi ketiga ditandai dengan munculnya organisasi kaum muda dan mahasiswa Islam. Sebagai contoh adalah Lafran Pane yang mendirikan HMI, ataupun Mahbub Djunaidi yang mendirikan IPNU/PMII. Munculnya organisasi mahasiswa dan pemuda yang berbasic islam melahirkan kader muslim yang dilatih menjadi pemimpin gerakan dakwah dan masjid kampus dan menjadi generasi ke empat intelektual muslim yang diwakili oleh Nurcholish Majid, Djohan Efendi, Dawam Rahardjo, Ahmad Wahib dimana pada masa generasi ini, pemikiran tentang keislaman berkembang pesat. Namun, hanya generasi ini memunculkan intelektual dari kalangan mahasiswa karena generasi berikutnya banyak di dominasi oleh campur tangan negara seperti ICMI.
Intelektual Muslim dalam Pusaran Kekuasaan
Dari sejarah intelektual Islam dapat diketahui, golongan ini mempunyai andil besar dalam proses perubahan. Namun kompleksitas antara ilmu dan kekuasaan menjadi problem sistemik yang menggerogoti perjalanan intelektual. Julian Benda dalam bukunya The Betrayal of Intelectual mengatakan “la trahison de la clerks,” terhadap intelektual yang berselingkuh dengan dengan kekuasaan.
Intelektual muslim pada masa tahun 1970-an terseret dalam arus pusaran kekuasaan. Hal ini tidak lain dari upaya penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya dengan melibatkan intelektual—termasuk intelektual muslim—di dalam kekuasaannya. Masa konsolidasi pemerintahan orde baru Islam bisa merembes masuk ke dalam kekuasaan karena pada masa ini berkembang aktivitas di masjid-masjid kampus negeri. Selain itu juga ada proses saling mendekat (rapprochement) dengan para birokrat sehingga embrio blok dalam kaum intelegensia Muslim pun tumbuh di tubuh tambun Orde Baru.
Gerakan intelektual muslim yang terorganisir dalam gerakan pemuda dan mahasiswa Islam kemudian lebih diarahkan untuk kepentingan politik. Loby-loby dan usaha untuk memperluas relasi kekuasaan justru semakin mengemuka. Kegiatan dukung mendukung digunakan untuk legitimasi atas kekuasaan dan bahkan Islam kemudian digunakan kepentingan politik. Golongan intelektual muslim yang tidak mau tenggelam dalam pusaran kekuasaan kemudian lebih menyibukkan diri mereka dengan melakukan kajian-kajian keislaman.
Nurkholis Madjid pada tahun 1970 selepas studinya di Amerika melihat perkembangan yang terjadi di kalangan intelektual Islam kemudian mengenalkan semboyan “Islam Yes, Partai Islam... no”! dengan pemikirannya ini, Alm Cak Nur—biasa Nurcholis Madjid di panggil—menjadi tokoh pembaharu Islam dengan sikapnya yang moderat dan mendukung sekularisme.
Perselingkuhan antara intelektual muslim dengan kekuasaan terlihat jelas dalam tubuh ICMI. Bahkan saat itu berkembang paradigma ijo-royo-royo (hijau banget) di kalangan birokrat negara. Intelektual muslim yang tergabung dalam ICMI kemudian Islam sebagai cantolan ideologi dan kunci untuk membuka pintu kekuasaan.
Aksi ini kemudian ditentang oleh golongan yang dimotori Abdurrachman Wahib (Gus Dur) melalui gerakan Pro Demokrasi. Gus Dur bahkan memompa memompa generasi muda NU dengan matriks liberal, yang siap melakukan vermak atas baju Islam dan kritik atas tradisinya sendiri. Arus inilah yang pada akhirnya melahirkan generasi intelektual kontemporer
Perdebatan yang mengemuka adalah persoalan tentang kepemimpinan dan harakah yang paling berpengaruh, ialah harakah yang dipengaruhi Ikhwanul Muslimin, yakni Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dan partai politiknya, Partai Keadilan Sejahteran (PKS) (Yudi Latif: 2005). Hal tersebut terjadi karena adanya hubungan simbiose mutualisme, patron menggunakan massa di bawah untuk legitimasi kekuasaan sedangkan client menganggapnya sebagai jalur cepat untuk berkuasa.
Hubungan patronase ini juga mengakibatkan adanya pemahaman terhadap islam yang bersifat konservatif sesuai dengan apa yang diartikan oleh pimpinan mereka. Semangat jiwa jaman tidak mampu mempengaruhi dan mengubah pemahaman golongan ini dalam mengartikan Islam. Cara berfikir ini menurut Amien Rais ataupun Gus Dur sangatlah tidak tepat. Menurut mereka baju islam sangat sempit sehingga baju Islam harus dikaitkan dan dijahitkan secara kreatif dengan diskursus di luar dirinya.
Diskursus inilah yang kemudian banyak dipakai oleh intelektual muda islam dari kalangan NU (tergabung dalam JIL) dan Muhammadiyah (tergabung dalam JIMM). Mereka menagalami proses liberalisasi dalam tingkatan yang belum pernah terjadi sebelumnya dan mereka berkolaborasi dengan intelektual muda dari latar yang berbeda. Golongan ini terbuka terhadap kondisi global postmodern menjadi lebih mendalam apresiasiatif terhadap nilai-nilai liberal dan sekuler Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar