Rabu, 16 Juli 2008

Irshad Manji Menggugat Gender dan Homoseksualitas

Irshad Manji, seorang feminis muslim yang dengan terang-terangan mengaku lesbian. Ia meneriakkan protes keras terhadap pelanggaran atas nama Islam di kalangan perempuan dan kelompok minoritas—termasuk kelompok homoseks.

Di mata kalangan Islam fundamental, Irshad Manji, perempuan berumur empat puluhan ini tak lebih dari seorang provokator yang menyebarkan tafsir setan atas Al Qur'an. Melalui buku “Beriman Tanpa Rasa Takut: Tantangan Umat Islam Saat Ini” Irshad melakukan protes keras atas ketidakadilan atas nama agama. Ia melakukan kritik keras penafsiran terhadap Al Qur'an yang sedikit memberikan ruang kebebasan kepada perempuan dan kelompok minoritas.

Dalam buku tersebut, Irshad mangaku sebagai seorang muslim Refusenik. Ia memilih ungkapan itu sebagai bentuk pilihan sikap. Feminis yang lahir di Uganda ini memilih bersikap tidak mau menjadi “robot” yang dengan mudah dimobilisasi untuk melakukan tindakan atas nama agama. Sebagai perempuan yang dilahirkan dalam keluarga Islam, Irshad Manji menemui banyak diskriminasi terhadap perempuan.

Ketika kecil, Irshad mendapat pengalaman yang tidak menyenangkan ketika menuntut ilmu di Madrasah. Pengalaman yang jauh berbeda menurutnya jika dibandingkan ketika berada di Gereja atau di tempat ia menuntut ilmu di junior schools. Di madrasah, demi menjadi seorang perempuan muslim, Irshad harus menanggalkan identitas dirinya sebagai pemikir. Karena sikap kritisnya yang selalu mempertanyakan Islam, Irshad bahkan diusir keluar dari madrasah.

Hidup di keluarga Islam dengan superioritas seorang Ayah, Irshad tumbuh menjadi gadis yang tidak memimpikan laki-laki. Dididik dalam keluarga dimana perempuan diperlakukan dengan banyak hal yang pedih karena kekuasaan Ayah yang sewenang-wenang, Irshad tidak menolak hubungan cinta sesama. Pada usia duapuluh tahun, Irshad menemukan kekasih pertamanya. Ia kemudian secara terbuka menyatakan dirinya sebagai seorang lesbian.

Keberanian Irshad bukan tanpa alasan. Menurutnya, tidak ada masalah ketika ia membuka statusnya sebagai seorang muslim yang lesbian. Muslim adalah agama dan menemukan pasangan lesbian adalah kebahagian. Tidak ada diantaranya yang saling bertentangan.dalam perjalanan hidupnya, Irshad berupaya melakukan rekonsiliasi homoseksualitas dengan Islam. Ia melakukan introspeksi hingga ia nyaris keluar dari Islam meskipun hal tersebut tidak jadi dilaksanakannya.

Memasuki usia duapuluhan, dalam proses pencarian jati dirinya, Irshad menekuni kegiatannya sebagai seorang wartawan. Irshad pada tahun 1998 bahkan memandu sebuah acara TV dan Internet bernama Queer Television yang mengupas budaya gay dan lesbian. Acara tersebut secara terbuka mengundang caci maki baik dari kalangan Islam Fundamentalis. Seringkali Irshad mendapatkan kiriman surat yang berisi kebencian dan kemarahan bahkan ancaman akan dibunuh. Padahal dalam Al Qur’an tegas dinyatakan, “Allah membuat sempurna segala sesuatu yang Dia ciptakan,” termasuk di dalamnya demikian dalih Irshad menjawab ancaman tersebut.

Menurut Irshad, Islam menjadi bencana bagi kaum homoseksualitas. Secara tidak langsung, Irshad menyatakan hal tersebut terjadi karena para ahli kitab kebanyakan memahami ayat-ayat homoseksualitas dengan perspektif bias heteronormativitas. Akibatnya, kaum homoseks yang terdiri dari Gay dan Lesbian diposisikan sebagai kelompok yang menyimpang dan menjadi akar konflik dalam pelaksanaan agama.

Tidak hanya bersimpati kepada homoseksualitasdimana ia menjadi bagian di dalamnyaIrshad juga menolak segala bentuk kekerasan terhadap perempuan atas nama agama. Ia melihat, di hampir semua negara muslim, kekerasan terhadap perempuan marak terjadi. Di Pakistan, setiap hari rata-rata dua perempuan mati akibat pembunuhan atas nama kehormatan. Di Tunisia dan di Aljazair, perempuan muslim tidak bisa secara hukum menikah dengan laki-laki non muslim, namun laki-laki bebas menentukan pilihan.

Bahkan, di Arab Saudi, kaum perempuan yang berjumlah lima puluh tujuh persen dari penduduk dianggap sebagai kaum minor selama-lamanya. Hukum sangat tidak memihak kepada perempuan. Sebagai bukti, kaum perempuan di Arab tidak boleh hadir di pengadilan bahkan ketika dia dituduh membunuh. Bentuk kepatuhan hukum dan diskriminasi kepada perempuan pada Maret 2002 mengakibatkan limabelas siswa perempuan tewas dalam kebakaran. Penyebabnya sederhana, siswa yang telah lolos dari jilatan lidah api justru dipaksa masuk ke kobaran api hanya karena tidak mengenakan abaya (pakaian yang membungkus seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan).

Menurut Irshad Manji, tribalisme gurun pasir serta paternalisme suku padang pasir menjadi biang kerok diskriminasi terhadap perempuan. Dalam karakter Islam padang pasir, kekerasan dan pemerkosaan atas nama agamas sering terjadi. Akibatnya, Dalam menjalankan ajaran Islam, sulit dibedakan mana keadilan (justice) dan pembenaran (justifikasi). Meningkatnya totalitarianisme Islam dan tidak terkendalinya politik di kawasan timur Tengah menjadi bukti. Meskipun banyak umat Islam yang berbicara lantang menolak kesewang-wenangan atas nama Islam.

Mereka berpatokan pada Al Qur’an yang menyatakan bahwa “laki-laki dapat berkuasa atas perempuan karena mereka ‘memberikan nafkah dari hartanya”. Ayat tersebut bahkan dalam perjalanan sejarahnya pada tahun 1990 mampu mempengaruhi Deklarasi Kairo tentang Hak Asasi Manusia yang didukung oleh negara muslim. Ayat Al Qur’an yang lain menyebutkan, “istrimu adalah ladang bagimu. maka datangilah ladangmu itu kapan saja dengan cara yang kau sukai”. Padahal, ada ayat Al Qur’an yang menyatakan bahwa “suami bertanggungjawab atas kebutuhan dan kesejahteraan keluarga”. Menurut Irshad, Islam sebagai agama yang flexibel harusnya beradaptasi untuk hal yang baik, bukan hal yang buruk.

Irshad mengutip pendapat Ibnu Rusyd tentang kesetaraan gender. Dalam pandangan Ibnu Rusyd “kemampuan perempuan tidak dikenali karena mereka diturunkan derajatnya dengan hanya untuk mengurusi protekrasi, membesarkan anak dan menyusui. Irshad sependapat dengan Ibn Rusyd bahwa memperlakukan perempuan sebagai beban kaum laki-laki, menjadi penyebab munculnya kemiskinan. Hal itu yang menjadi bukti betapa negara-negara di Timur Tengah berada dalam garis kemiskinan.

Meskipun banyak ketidak beresan yang diakibatkan karena penafsiran terhadap Islam, namun Islam bukan masalah. Bahkan dalam sistem pemerintahan, Islam tidak merekomendasikan bentuk tertentu pemerintahan. Menurut Irshad Manji, Islam setidaknya menjadi alat pemersatu karena secara tidak langsung ada anggapan umat bahwa yang mempersatukan mereka adalah iman dan Tuhan.

Dalam bukunya ini, Irshad melihat musuh yang dihadapi oleh Islam adalah berasal dari kalangan mereka sendiri. Pasca runtuhnya menara kembar WTC, umat Islam hidup dalam kebohongan dengan menyatakan bahwa Islam dibajak. Mereka tidak mengakui adanya masalah dalam Islam dan justru membangun romantisme dan bukan refleksi. Umat Islam justru memupuk kebencian terhadap Amerika atau Barat.

Umat Islam harus menyadari tantang yang dihadapi. Kita bisa belajar banyak dari sejarah runtuhnya Islam di Spanyol. Pada waktu itu, Islam bukan hancur karena pasukan Kristen tetapi karena ulah Islam sendiri. Biang keladi yang paling bertanggungjawab dalam menggerus kaum muslim adalah umat Islam sendiri. Kaum muslim memaksakan hukum perang dan saling menghancurkan kebebasan.

Menurut Irshad Manji dalam bukunya ini, untuk menyelamatkan Islam, ada tiga cara yang harus dilakukan. Pertama, merevitalisasi ekonomi dengan melibatkan potensi wanita, kedua memberikan tantangan kepada bangsa Arab padang pasir untuk melakukan penafsiran yang beragam terhadap Islam. Ketiga, bekerjasama dengan barat dan bukan melawannya.

Pemikiran Irshad ditopang dengan adanya laporan laporan tahun 2002, dalam Arab Human Development Report. PBB menegur pemerintah Arab karena mengabaikan energi dari perempuan yang jumlahnya setengah penduduk. Pemberdayaan perempuan menjadi defisit yang diangkat dalam laporan tersebut selain defisit dalam pengetahuan dan kebebasan.

Selain itu, pemikiran itu juga didukung oleh analisis bahwa; pertama perdagangan selalu membantu melumasi roda hubungan, baik antara kaum muslim, Yahudi maupun Kristen. Kedua, tidak ada larangan bagi perempuan untuk berbisnis. Menurut Irshad Manji, Kapitalisme yang sadar akan Tuhan serta ditopang oleh peran perempuan mungkin bisa menjadi jalan untuk memulai reformasi terhadap Islam. Tahap yang penting untuk dilakukan adalah melakukan operasi ijtihad dengan memberdayakan lebih banyak perempuan muslim untuk menjadi wirausahawan.

Dalam operasi ijtihad, Irshad memberi contoh dengan mengutip No-Nonsense Guide to International Development. “Dari satu juta orang, tiga perempatnya perempuan telah menerima pinjaman mikro di lebih dari empat puluh negara sejak bank Grameen dibuka. Contoh lain, pinjaman mikro Muhammad Yunus untuk memberdayakan perempuan di Bangladesh hingga Chichago. Irshad dalam buku ini juga menganjurkan kepada umat Islam untuk berlaku jujur. Dalam bab terakhir, disebutkan bahwa untuk kepentingan perkembangan Islam umat Islam harus berterimakasih kepada kebudayaan barat.

Namun, yang penting dikuak dalam buku ini adalah hasil dari eksplorasi dan interpretasi terhadap Al Qur’an oleh Irshad Manji yaitu; pertama hanya Tuhan yang sebenarnya tahu kebenaran dari segala hal. Kedua, hanya Tuhan yang bisa menghukum orang yang tak beriman. Ketiga kesadaran kita membebaskan diri untuk merenung kehendak Tuhan tanpa kewajiban apa-pun untuk tunduk pada tekanan dan prinsip atau paham tertentu.

Tak salah dengan keberanian Irshad untuk melakukan kritik terhadap Islam, ia mendapat ditasbihkan sebagai satu dari tiga muslimah yang menciptakan perubahan positif dalam Islam. Buku ini bahkan kemudian diterbitkan di tigapuluh negara dan meraih The International Bestseller dan The Nweyork Times Bestseller. Buku ini menjadi bacaan yang menarik bagi anda yang ingin mengetahui tentang persoalan kekerasan terhadap perempuan serta homoseksualitas. Hal tersebut menjadi tantangan yang harus dihadapi umat Islam dewasa ini.

Senin, 14 Juli 2008

ISLAM DAN SEMANGAT ANTIKEKERASAN

Syahdan suatu ketika Nabi dirundung kesedihan luar biasa ketika paman sekaligus pelindungnya di Mekkah, Abu Thalib meninggal dunia. Kesedihan tersebut merupakan kesedihan lanjutan, setelah sebelumnya, Khadijah—istri tercintanya juga meninggal dunia. Abu Thalib merupakan pelindung Nabi dari ancaman kaum kafir Qurays. Dan sepeninggal pamannya itu, praktis tidak ada lagi ”orang kuat” yang dapat melindungi Nabi dalam menyiarkan Islam di Mekkah. Terlebih jabatan ketua klan Bani Hasyim pasca-Abu Thalib, adalah Abu Lahab, seorang yang paling getol memusuhi Nabi.

Melalui beberapa ancaman yang dilakukan Abu Lahab dan gerombolannya, Nabi akhirnya melarikan diri dan bahkan menyingkir hingga ke sudut kota Thaif—sebuah kota kecil di utara Mekkah yang subur. Nabi bermaksud meminta bantuan keluarga Tsaqif—”juru kunci” kuil al-Lata di kota Thaif, sekaligus menyadarkannya supaya masuk Islam. Namun, permintaan Nabi tersebut ditolak. Bahkan keluarga Tsaqif memerintahkan budak-budaknya untuk mengejar dan membunuh Nabi. Dengan kondisi tubuh penuh luka dan berdarah-darah karena dilempari batu oleh para pengejarnya, dan merasa sudah tidak ada orang lagi yang akan bisa menolongnya, Nabi kemudian berdoa kepada Allah memohon pertolongan.

Doa Nabi kemudian menembus langit-mengguncang Arasy, tempat para Malaikat berkumpul. Malaikat Jibril pun memimpin ”pasukan” Malaikat menemui Nabi dan menawarkan bantuan: “Wahai Nabi, jika engkau meminta kami mencabut gunung-gunung, lalu ditimpakan kepada para kaum Thaif yang kurang ajar itu, kami akan lakukan”. Nabi SAW dengan santun menjawab: “Bahkan jika mereka tidak mau beriman dan taat kepada Tuhan, aku masih tetap berharap akan ada anak-anak dan cucu-cucu mereka yang menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Biarkan saja mereka, karena mereka memang orang-orang yang tidak tahu.” 'Allahumma ihdi qawmi fa innahum la ya'lamun' (Wahai Tuhan, berilah petunjuk kepada mereka, karena mereka tidak tahu)," demikian doa Nabi kala itu.

Demikianlah secuil kisah inspiratif yang bisa menggugah batin kita. Nabi—dengan segala kesabarannya telah menunjukkan kepada kita bahwa berdakwah dengan tanpa kekerasan adalah prinsip utama dalam Islam. Bahkan ketika posisi Nabi yang sangat terdesak seperti cerita di atas, Nabi tetap ”berkepala dingin”, tidak mau menggunakan ”pasukan” malaikatnya berbuat kekerasan.

Kisah di atas tentu sangat kontras apabila kita kaitkan dengan realitas-realitas sekarang ini. Realitas ketika—atas nama agama, sekelompok teroris dengan ”dinginnya” meledakkan sebuah pesawat terbang, tempat hiburan, dan banyak fasilitas umum. Realitas ketika—atas nama agama juga, sekelompok umat mayoritas membumihanguskan tempat tinggal dan rumah ibadah umat lain yang kebetulan berbeda dan minoritas.

Realitas-realitas kekerasan semacam ini kemudian membuat kita berpikir kembali tentang fungsi agama secara fundamental. Fungsi agama yang seharusnya memberikan ketenteraman, kedamaian, dan ketertiban, justru terlihat berubah sama sekali. Agama terlihat ”berparas” menakutkan. Penuh dengan darah dan air mata. Agama—bahkan tidak lagi sesuai dengan visi etimologisnya yang paling fundamental yakni a: tidak/tanpa, dan gama: yang berarti kekacauan.

Islam yang Selalu Menebar Perdamaian bagi Semesta

Bagimana dengan Islam? Citra Islam dalam satu dasawarsa terakhir ini memang sedikit banyak dilumuri oleh “kekerasan” dan “tindak teror”. Citra seperti ini, menurut saya, adalah akibat tindak tanduk sebagian kecil penganut Islam yang masih saja berlaku “radikal”, masih menggunakan cara-cara kekerasan seperti di atas untuk menghadapi “yang lain”. Meskipun, tentu saja saya tak boleh menyederhanakan permasalahan, tentang penyebab-penyebab serta pemicu munculnya tindak kekerasan yang membabi buta tersebut. Namun pada prinsipnya bagi saya, Islam tidaklah seperti itu. Islam merupakan agama yang selalu memancarkan sinar-sinar kasih sayang dan perdamaian.

Secara etimologis, Islam berasal dari bahasa Arab aslama- yuslimu islam yang berarti menyelamatkan, menyerahkan diri, tunduk dan patuh. Sebagian ahli bahasa menyebutkan bahwa Islam berasal dari akar kata silm yang mengandung arti selamat, sejahtera dan damai. Kedua pendapat ini, menurut saya, mempunyai hubungan pengertian yang mendasar yaitu penyerahan diri kepada Yang Maha Pencipta karena adanya tujuan untuk memperoleh kedamaian.

Islam yang muncul sebagai agama paling “bungsu” diantara agama-agama samawi sebelumnya kemudian mendeklarasikan ”kredo” agamanya yang terkenal, yaitu agama yang rahmatan lil alamin, agama yang merupakan rahmat bagi seluruh alam ini. Dengan “platform” ini, agama Islam jelas-jelas ingin membawa “berkah” bukan hanya bagi internal umat Islam, namun juga ingin memancarkan rahmatnya bagi seluruh umat agama lain—semua manusia, bahkan untuk keseluruhan alam ini. Semangat kasih sayang yang luar biasa seperti inilah yang harus disadari oleh kita umat muslim sepenuhnya. Hingga kemudian, kehadiran Islam di bumi ini, bukanlah menjadi suatu ancaman bagi “yang lain”, melainkan menjadi “sesuatu” yang dapat menginspirasikan adanya persaudaraan dan perdamaian antarsesama makhluk Tuhan. Sesuatu yang benar-benar bisa membuat setiap makhluk di bumi ini merasa nyaman dan aman, ketika berhadap-hadapan maupun menjumpainya.

Pesona al Rahman dan al Rahim

Platform Islam ini kemudian amat pararel dengan sifat-sifat Tuhan yang paling populer disebut makhluknya, yakni al Rahman dan al Rahim. Sering kita membaca kedua sifat Tuhan ini dalam basmalah tanpa menyadari spirit hakikinya. Al Rahman dan al Rahim adalah sifat Tuhan yang bermakna Yang Maha Pengasih dan Penyayang (Welas Asih)—dunia akhirat. Sifat ini ditujukan kepada manusia, baik itu muslim ataupun non-muslim, bahkan kepada hewan, tumbuhan dan seluruh isi alam ini. Sifat Maha Welas Asih ini begitu murni memancar ke semua makhluknya tersebut tanpa diskriminasi. Orang muslim boleh menikmati fasilitas sinar matahari, menikmati segarnya udara dan air, menggunakan akal pikirannya untuk kehidupan yang lebih baik, dan boleh menginjakkan kakinya untuk melangsungkan hidupnya di dunia ini, begitupun pula dengan orang-orang non-muslim lain. Segala makhluk berhak dan butuh kepada pancaran kasih sayang Tuhan ini. Tidak ada diskriminasi, tidak ada pengecualian. Sifat yang mulia inilah yang harusnya memancar ke dalam kalbu setiap manusia. Sifat yang selalu berwelas asih kepada sesamanya tanpa bersikap diskriminatif apalagi fasis.

Mengenai problem perbedaan mazhab, keyakinan, agama, atau kepercayaan, itu adalah urusan lain. Tuhan Yang Maha Benar, akan “menyelesaikan” masalah ini secara tuntas di akhirat nanti.

Emanasi sifat al Rahman dan al Rahim

Sifat al Rahman dan al Rahim dari Tuhan ini terlihat begitu memesona hingga kemudian “diadopsi” oleh beberapa orang hebat dalam sejarah dunia. Contoh yang sangat pasti tentu saja Nabi Muhammad sendiri. Sastrawan sufi Syaikh Jalaluddin Rumi juga “mereferensi” sifat Tuhan ini. Banyak syair-syair buatannya memancarkan spirit cinta dan kebersamaan yang begitu mendalam antarsesama manusia.

Namun yang saya amati kemudian, ternyata banyak tokoh bijak dalam sejarah manusia, yang non-muslim, yang berhasil “menangkap” sifat mulia Tuhan ini dan kemudian menyebarkannya ke masyarakat sekitarnya sebagai simbol perjuangan untuk perdamaian dan kemuliaan kemanusiaan. Tokoh seperti Gandhi adalah contoh yang baik dalam hal ini. Tokoh spiritual Hindu ini berhasil mengadopsi sifat Tuhan tersebut melalui semangat perjuangannya yang masyhur, yaitu ahimsa (tanpa kekerasan), dan satyagraha (selalu membela kebenaran). Perjuangan Gandhi ini kemudian meninspirasikan jutaan manusia lain untuk melawan ketidakadilan dan penindasan kemanusiaan di seluruh dunia dengan tanpa kekerasan. Tercatat orang seperti Nelson Mandela kemudian “mengambil berkah” semangat Gandhi ini untuk menentang rezim Apertheid di Afrika Selatan, dan usahanya tersebut berhasil dengan gemilang. Semangat Gandhi ini juga menyebar hingga ke Amerika Serikat pada tahun 1960-an melalui tokohnya yang terkenal yaitu Martin Luther King Jr dalam perjuangannya melawan diskriminasi terhadap orang-orang kulit hitam.

Selain terhadap Gandhi, sifat Tuhan ini juga merasuk ke sanubari sejumlah tokoh terkenal lain yang berdedikasi tinggi terhadap perdamaian dan kemanusiaan di dunia. Kita melihat Bunda Theresa, seorang biarawati Katholik, yang bersedia meninggalkan gereja dan asramanya untuk turun langsung menolong sesama manusia yang sakit dan miskin di India. Dia merawat ribuan penderita kusta, mengajari anak-anak yang buta huruf, menyelamatkan banyak nyawa, hingga namanya begitu harum dihormati seluruh manusia di bumi ini hingga sekarang. Kita juga melihat seorang Muhamad Yunus yang mencetuskan ide sistem kredit yang teramat lunak kepada ribuan warga miskin di Bangladesh—tanpa melihat latar belakang agama, suku, dan ras mereka, sehingga menolong mereka dari jeratan “kekerasan” kehidupan, yakni kemiskinan yang berlarut-larut. Dan yang paling mutakhir adalah Al Gore, seorang cendekiawan dan politikus asal Amerika Serikat yang mengkampanyekan bahaya pemanasan global, hingga menggugah kesadaran seluruh warga dunia untuk kemudian “bersikap arif” terhadap lingkungan hidup di sekitarnya.

Tokoh-tokoh hebat di atas, saya anggap berhasil menerjemahkan sifat mulia Tuhan ini dengan arif dan kreatif. Apa yang telah dilakukan mereka—tokoh-tokoh hebat itu, terlihat “sangat islami”—meskipun dengan tanpa mencoba “memformalkannya”. Dan pastinya, segala perjuangan mereka tentu akan menjadi inspirasi dan referensi abadi bagi perjuangan perdamaian dan kemanusiaan di muka bumi ini, di masa kini dan mendatang.

Semangat Perdamaian dalam Shalat

Platform Islam rahmatan lil alamin dan sifat Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang ini kemudian juga termanifestasikan lagi dalam ritual Islam yang paling fundamental, yaitu shalat. Dalam ritual yang kita lakukan minimal lima kali sehari ini, terdapat doa yang akan membuat kita selalu rendah hati yaitu Ihdina al shiraathal mustaqim ”tunjukkanlah kepada kami pada jalan yang lurus”. Doa yang terdapat di surat al Fatihah ini bahkan wajib kita ucapkan 17 kali sehari sebagai perwujudan betapa kita selalu ingin dan mengharapkan petunjuk ”jalan yang lurus” kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Suatu sikap rendah hati yang mencerminkan keberadaan kita yang belum tentu sudah ”lurus” selurus lurusnya, atau sudah ”benar” sebenar-benarnya. Keberadaan kita sebagai makhluk yang memang (sudah memeluk) Islam namun tetap senantiasa butuh petunjuk Tuhan dengan tanpa ”menuding” makhluk lain—yang ”berbeda” sebagai ”yang sesat” dan ”harus dimusnahkan”. Doa ini kemudian diperindah dengan rukun shalat yang terakhir, yakni salam. Dalam salam, kita memalingkan wajah ke kanan dan ke kiri sambil mengucapkan assalamualaikum warahmatullah. Sebuah simbol bahwa seorang muslim yang baik, harus selalu menebar kedamaian kepada sekitarnya. Sebuah ending ritual yang begitu menyejukkan hati. Salam merupakan manifestasi muslim bagi perdamaian untuk semesta.

Walhasil, kehadiran Islam di dunia, sebenarnya adalah ingin menebar benih perdamaian untuk menuai kemaslahatan semesta. Bukan memelihara kekerasan dan perusakan. Sebuah cita-cita yang tentu akan di-amin-i oleh seluruh muslim di muka bumi ini.

Taxin

Jakarta, 13 Juli 2008

Jumat, 04 Juli 2008

Menyentuh Hati lewat Cinta (Monyet)



Review atas Film Mukhsin karya Yasmin Ahmad

Film Mukhsin merupakan film Malaysia pertama yang saya tonton. Cukup ironis memang, melihat Malaysia yang merupakan “saudara” serumpun Indonesia yang letak geografisnya paling dekat, ternyata tidak menjamin “lalu lintas” perfilman di dua negara ini menjadi lancar. Saya pikir, hal ini tentu berhubungan dengan monopoli distribusi perfilman di kedua negeri ini yang dikuasai 21 yang umumnya menampilkan film-film Hollywood.

Yang saya akrabi tentang Malaysia dalam soal film selama ini hanyalah dalam hal subtitle-nya yang sering saya jumpai di DVD-DVD film orba (ori tapi bajakan). Dalam subtitle Malay tersebut, istilah-istilah Melayu seperti “Pak Cik”, “pusing-pusing”, dan lain-lainnya cukup populer, dan kadang malah menjadi sumber “lelucon” linguistik secara pragmatis.

Saya beruntung bisa “menemukan” film Mukhsin ini dari sebuah rental DVD film-film festival di kawasan Tebet dan kemudian menontonnya. Pada Jiffest 2007 lalu, sebetulnya film ini pernah ikut diputar di seksi pemutaran film-film Asia Tenggara. Namun karena suatu hal, saya tidak berhasil menontonnya.

Mukhsin (2007) merupakan film terakhir dari trilogy Orked. Dua film sebelumnya adalah Sepet (2004) dan Gubra (2006). Sengaja saya menonton Mukhsin terlebih dahulu, karena “termakan” persuasi “guider” rental DVD nya, yang menerangkan tentang “alur” hidup tokoh utamanya di trilogy itu, yakni Orked. “Di Mukhsin, Orked masih kecil, sedang di Sepet dan Gubra, Orked telah dewasa”, demikian penjelasan guider. Saya kemudian “mengikuti petunjuk” sang guider, dan lalu mencomot Mukhsin untuk saya bawa pulang dan kemudian saya tonton.

Film ini menceritakan kisah cinta pertama Orked (10 tahun) dan Mukhsin (12 tahun). Pada adegan pertama diceritakan Orked (10 tahun) yang secara “personal” diberi tugas gurunya untuk membuat karangan cerita selama liburan sekolah yang sudah di depan mata. Orked menerima tugas itu dengan lapang dada meski dia sendirian yang diberi tugas sementara temen-temannya lain tidak.

Orked-pun pulang ke rumah dan berencana menghabiskan liburannya di kampungnya. Di adegan-adegan selanjutnya diperlihatkan sosok Orked yang kelihatan tomboy. Orked ogah ketika diajak main pengantin-pengantinan bersama teman-teman perempuannya, dan lebih memilih bermain dengan temen-teman lelakinya. Di sinilah kemudian Orked berkenalan dengan Mukhsin (12 tahun), teman sepermainannya yang merupakan “orang baru” di kampungnya. Mukhsin berasal dari keluarga berantakan dan memilih tinggal bersama bibinya di kampung tersebut. Jalinan persahabatan antara Orked dan Mukhsin berkembang akrab. Mukhsin pun terlihat dekat dengan Orked dan keluarganya. Sering Mukhsin diajak nonton bola bersama keluarga Orked.

Melalui kedekatan yang akrab, tak terasa benih-benih cinta pun muncul di antara kedua insan kecil itu. Benih cinta yang sederhana. Yang merupakan sesuatu yang ”orisinal” dan pertama dialami oleh keduanya, yaitu cinta pertama.

Keduanya pun “bergaya pacaran” dengan mesranya. Mukhsin memboncengkan Orked di sepeda bututnya keliling kampung. Duduk “bahagia” berdua di sebatang pohon yang berhasil mereka panjat. Dan bermain layang-layang berdua di persawahan hijau. Pengambilan gambar di adegan-adegan ini sering dibuat statis. Lanskap-lanskap bersetting kampung seperti pepohonan rindang, hamparan sawah yang menguning, dan jalan-jalan setapak kampung terlihat tampak elok terlihat. Sutradara kayaknya ingin mengoptimalkan ”suasana” yang terbangun dan akting kedua bocah kecil ini yang natural. Patut dicatat--- menurut keterangan yang saya dapat—pemeran Orked (Syarifah Aryana) dan Mukhsin (Mohd. Syafei Naswip) adalah ”orang biasa”, yang belum mempunyai pengalaman main film sebelumnya.

Hubungan mesra Orked dan Mukhsin kemudian retak, setelah terjadi insiden pertengkaran kecil di antara keduanya. Orked ngambek, dan tidak mau menemui Mukhsin lagi. Mukhsin dengan segala usahanya mencoba menemui Orked, namun tidak pernah berhasil bahkan hingga kepergiannya dari kampung tersebut karena dijemput ayah kandungnya.

Secara umum film ini cukup jujur mengeluarkan “perasaan” sutradara dan penulis ceritanya yang kebetulan sama yaitu Yasmin Ahmad. Yasmin tampaknya cukup los mengeluarkan segala imaji-imajinya dalam bentuk dialog-dialog, cerita dan gambar-gambar yang indah di film ini. Lihatlah ”tampilan” keluarga Orked yang ”unik”. Lihatlah dialog kecil Mukhsin dan Orked ketika mereka berpacaran di sepeda butut Mukhsin. Juga scene ketika Kak Yam (pembantu rumah tangga keluarga Orked—diperankan dengan bagus sekali oleh Adibah Noor) ”ngerjain” Mak Inom (Ibu Orked) saat dialog kecil soal Nina Simone—penyanyi lagu Ne Me Quitte Pas (Don’t Leave Me) yang juga menjadi soundtrack film ini. Lihatlah pula adegan terakhir film ini ketika Orked (dengan suara telah dewasa) membacakan sebuah puisi lama karya penyair Polandia- Wislawa Szymborska yang begitu menyentuh hati, untuk mengenang keagungan cinta pertamanya itu. Berikut bait puisinya:

The minute I herad my first love story

I started looking for you

Not knowing how blind that was

Lovers don’t finally meet somewhere

They’re in each other all along

Dan menurut saya, yang paling ”kuat” dalam film ini adalah tata-musiknya. Film ini merupakan salah satu film yang cukup berhasil menyajikan score yang “akan selalu diingat” penontonnya (terutama untuk penonton Indonesia). Apa pasal? Dalam film ini, Yasmin menampilkan lagu keroncong (yang tentu sangat khas Indonesia). Saya sendiri cukup terkejut dengan munculnya lagu keroncong di film ini. Saya pikir, keroncong—seperti halnya dangdut, adalah musik khas Indonesia dan hanya ada di Indonesia, tapi ternyata di Malaysia, musik keroncong juga ada. Lagu ini berjudul Keroncong Hujan. Muncul di awal dan akhir film.

Pada kemunculannya di awal film, lagu ini dimainkan secara “unplugged” oleh Pak Atan (ayah Orked) dan teman-temannya di depan rumah, “diiringi” adegan Orked yang menari lepas bersama Mak Inom (Ibunya) di halaman rumahnya ketika kemudian gerimis air hujan turun ke bumi.

Lagu ini kemudian muncul kembali di akhir film. Memaksa penonton untuk ikut tersenyum “bahagia” menyaksikan adegan “kebersamaan”para kru film plus Yasmin sendiri, berkumpul di tengah-tengah Pak Atan (asli) yang memainkan piano dan Mak Inom (asli) yang bertindak sebagai vokalis untuk menyanyikan sebuah lagu yang mencerminkan keagungan Tuhan dan rasa syukur atas indahnya kebersamaan ini.

Berikut lirik lagu Keroncong Hujan—yang setelah saya selesai nonton film ini, masih saja terngiang-ngiang di benak saya. Lirik lagu yang membikin saya merasa “fly”…

Mega mendung di angkasa
Hembusan bayu dingin terasa
gerimis berderai di merata
bagai mutiara

Rahmat dibawa bersama
Limpahannya meresap dijiwa
adakala bahgia terasa
meskipun duka nestapa

Tika hujan turun
sayup mendayu lagu keroncong
merdu irama dialun
bersenandung

Hujan membasahi bumi
melahirkan keluhuran budi
mengeratkan perpaduan suci
kasih sayang abadi

“Everyone has a first love story to tell”, demikianlah kalimat prolog di trailer film ini. Kalimat yang membuat saya terbawa kembali ke masa lalu ‘tuk bernostalgia ke masa ABG saya—mengenang “my first love” yang selalu membuat dada saya berdebar-debar, bukan karena sakit “jantungan”, namun karena sentuhan kelembutan cinta.


Taxin
Jakarta, 1 Juli 2008

Senin, 02 Juni 2008

Ketika Minyak Menentukan Semua Keputusan

Pengumuman kenaikan harga BBM oleh pemerintah pada 24 Mei 2008 ternyata masih menyisakan permasalahan dan kontra hingga sekarang. Berbagai daerah dan lapisan masyarakat seolah tak henti-hentinya memberikan komentar yang miring terhadap pemerintah saat ini. Betapa tidak, sejak SBY-JK berkuasa setidaknya 3 kali BBM (bahan bakar minyak) naik secara signifikan. Naiknya harga BBM dalam negeri dipicu harga minyak di pasaran internasional yang secara psikologis sangat dahsyat. Dampak dari kebijakan ini menurut bebeberapa pihak telah melahirkan masyaraklt miskin baru di Indonesia yang jumlahnya ternyata sangat fantastis. Komentar-komentar pro dan kontra semakin memperkeruh suasana yang “panik” dimasyarakat. Pemerintah ternyata juga tidak tinggal diam terhadap semua kritikan tersebut. Segala cara ditempuh pemerintah untuk mengkounter wacana negatif yang berkembang. Statemen-statemen pejabat silih berganti menghiasi televisi kita tiap harinya.

Pemerintah punya dalih bahwa kenaikan harga BBM ini adalah satu-satunya solusi untuk mengurangi defisit APBN akibat beban subsidi yang tersedot. Selain itu melaui jubir pemerintah, saat ini pemrintah akan mengubah paradig selama ini dari subsidi barang mengjadi subsidi manusia. “bukan barang yang kita subsidi tapi orang miskin yang akan kita subsidi.” Pengurangan subsidi BBM akan dialihkan untuk penguatan ekonomi masyarakat miskin, ancang-ancang kebijakan pemerintah untuk menghadapi gelombang protes ini adalah penggelondoran BLT (bantuan langsung tunai) kepada masyarakat miskin, dan aneka kebijakan yang pro masyarakat miskin lainnya. Selain itu pemerintah juga mengajak masyarakat miskin khususnya yang menerima BLT untuk membantu pemerintah dalam upaya meredam berbagai gejolak sosial akibat naiknya harga BBM. Ini merupakan upaya manuver politik yang sangat berbahaya dan tidak sepantasnya dilontarkan para pemimpin yang berkuasa saat ini. BLT saat ini merupakan tahap kedu yang sebelumnya pernah juga dilakukan pemrintah pada tahun 2005. carut masut distribusi BLT pada waktu itu sampai sekarang masih menyisakan beban traumatis bagi masyarakat bawah, tak heran beberapa pejabat lokal seperti bupati dan kepala desa banyak yang protes tidak akan menerima BLT.

Alih-alih memberikan penenangan kepada masyarakat di tengah kepanikan masyarakat, manuver-manuver pemerintah sepertinya menambah kebingunan masyarakat. Bahkan Wapres Jusuf Kalla masih mengindikasikan harga BBM sangat mungkin untuk kembali di naikkan pada waktu mendatang. Lalu sebuah pertanyaan besar tiba-tiba menggelinding dibenak saya, Apa sebenarnya hubungan naiknya harga BBM dengan kondisi ekonomi kita?negeri ini nampaknya semakin sulit lepas dari ketergantungan minyak. Setelah pada tahun 1970an hingga 1980an kita seoalah terlena dengan naiknya harga minyak bumi yang ternyata semberikan keuntungan yang luar biasa. Bonanza minyak bumi begitu istilah waktu itu dan pertamina dengan trah Sutoya seolah-olah bak raja dalam negara yang sangat berkuasa.

Waktu itu naiknya harga minyak bumi yang “gila-gilaan mampu menjadi berkah. Kita lupa masuknya investor asing dalam ekplorasi minyak bumi menjadikan bangsa kita bak keledai yang begitu bodohnya masuk dalam perangkap asing. Baru akhir-akhir ini diketahui publik bahwa kerjasama jangka panjang yang ditandatangani pertamina ternya sangat kecil dan tidak berimbang masuknya pundi-pundi kas ke negara dengan hasil dari ekplorasi minyak bumi. Belum lagi praktik kolusi dan korupsi yang sudah membatu ditubuh pertamina. Apes memang bagi generasi sekarang yang merasakan dampaknya buruk lonjakan harga minyak dipasaran dunia.

Puncak paceklik barang kali memang sedang di tangan SBY-JK tetapi seharusnya pemerintah tetap punya komitment dan konsekuensi kongkrit untuk menanggulangi dampak yang ditimbulkan dari naiknya harga BBM. Situasi sekarang memang penuh dengan keruwetan dan timpang tindih, bagaimana tidak harga bensin, solar dan minyak tanah yang naik sebesar 28% ternyata mampu menggoyang semua harga kebutuhan pokok. Beras naik, minyak goreng langka, cabe naik dan lain-lain. Apalagi pupuk untuk petani, langka!

Pangkal naiknya bahan pangan tersebut menurut opini masa adalah karena biaya distribusi barang yang juga berimbas naik. Harga solar naik, otomatis biaya untuk ekspedisi juga naik, tidak bisa tidak, belum lagi baiknya harga BBM pasti juga diikuti dengan naiknya harga semua spare part kendaraan. Situasi seperti inilah yang seharusnya diantisipasi pemerintah saat ini. BLT ataupun segala program turunan lainya secara sistemik dan logis pasti membantu bagi si penerima bahkan secara langsung. Tetapi jika pola-pola pergerakan ekonomi yang terkit sangat erat dengan harga BBM imbasnya sampai ke semua aspek BLT seperti sia-sia, ibarat “mbedah bendungan numpak debok” (memberikan solusi tetapi juga memberikan dampak buruk yang tidak terkendali)

Melihat peristiwa naiknya harga BBM sebelumnya semestinya pemerintah banyak belajar dari sana. Bensin, solar dan minyak tanah saat ini sulit dilepaskan dari jeratan sosial ekonomi masyarakat. Ketergantungan yang berlebihan terhadap sektor ini telah “memanjakan prilaku kita” hingga begitu sensitif ketika tersentuh atau terusik. Karena bisa jadi mungkin BBM berimbas pada dunia pendidikan. Biaya pendidikan mahal, etos kerja pendidik menurun karena himpitan harga kebutuhan pokok, semangat pendidikan itu sendiri yang bergeser hanya untuk tujuan ekonomi semata. Ironis memang, tapi inilah Indonesia, semuanya menjadi mungkin karena BBM. Belum lagi permasalahan kebutuhan pokok untuk anak-anak, orang dewasa semakin lebih sibuk memikirkan kebutuhannya sendiri pastinya.

Sulit membayangkan apa jadinya jika pola-pola rentetan naiknya berbagai seperti sekarang ini terus terjadi. Tugas pemerintah memang cukup berat untuk mencegah hal ini terus berlanjut. Dimasa mendatang pasti minyak bumi akan menjadi baggian dari cerita sejarah, karena energi perlu waktu jutaan tahun untuk terlahir kembali. Kearifan dan mengedepankan keadilan seyogyanya dijadikan patokan pemerintah dalam menjawab setiap persoalan##Irfanudin Wahyudi

Selasa, 13 Mei 2008

FESTIVAL PASAR KUMANDANG

Festival Pasar Kumandang
Solo, 18-20 Mei 2008
Pasar Tradisional sebagai Pusat Budaya
Merayakan 100 Tahun Kebangkitan Nasional Latar Belakang

Tidak dapat dibantah lagi pasar tradisional merupakan institusi sosial yang memiliki peran strategis di dalam proses pembangunan dalam berbangsa dan bernegara. Perkembangan setiap wilayah baik desa, kota ataupun negara tidak akan lepas dari peran dan keberadaan pasar tradisional. Artinya pasar tradisional merupakan cermin dari keberadaan kehidupan sosial di dalam satu wilayah tertentu. Lebih dari itu pasar merupakan pusat kebudayaan, dimana segala macam ekspresii perilaku dan nilai yang melekat dalam masyarakat terekspresikan dan diproduksi serta dipasarkan didalamnya.
Intensitas interaksi di dalam pasar tradisonal tidak kita temukan di pasar modern yang bisu. Proses-proses dialogis tawar-menawar menjadikan pasar terhindar dari penghampaan wacana interaksi sosial dimana tukar-menukar informasi terkelola dan tersampaikan. Pasar menjadi ruang peleburan segala atribut sosial yang cair. Karena interaksi di dalamnya dibangun oleh masyarakat dari berbagai kelompok kelas sosial maupun ekonomi.

Ke-ika-an (kesatuan) dalam multikulturalisme. Kesepakatan dibangun dengan tawar-menawar merupakan bangunan dasar demokrasi diletakan dalam arti membangun kesepakatan untuk mufakat. Pasar sebagai pusat budaya semakin terlihat ketika kita kembali menoleh keberadaan pasar tradisional pada konsep semula. Pasar tradisional tidak hanya menjadi ruang pemasaran kebutuhan praksis jasmaniah. Tetapi lebih dari itu pasar tadisional menjadi ruang ekspresi kesenian dan kebudayaan. Kita dapat melihat ketika pasar masih dalam bentuk aktivitas bazaar pada ruang terbuka di desa-desa. Kesenian dan niaga menjadi saling menunjang, ketika orang berkunjung ke pasar tadisional tidak sekedar berbelanja. Tetapi lebih dari itu juga berekspreasi. Entepreneurs dan entertaiment meruang dalam satu atap memenuhi kebutuhan lahir dan batin, di dalamnya cukup memiliki pesona pariwisata. Namun sisi ini masih belum tergarap secara serius untuk dikembangkan sebagai aset unggulan wisata
yang menarik. Meskipun cukup banyak bukti menunjukkan cukup banyak pasar-pasar tradisional yang tersebar di nusantara memiliki nilai unggulan lebih untuk diperkenalkan dalam dunia pariwisata.

Hanya perkembangan terakhir keberadaan pedagang di pasar tradisional mengalami kemunduran tergencet dan termarjinalisasikan . Akibat dari kebijakan dan sistem ekonomi yang tidak lagi berpihak dan berpijak pada kepentingan masyarakat banyak. Kondisi yang ada akan memunculkan bentuk kesenjangan yang semakin nyata menciptakan ruang konflik. Sebagai akibat ketidakadilan dari pengambilan kebijakan. Sehingga peran pasar tradisional sebagai institusi penjaga ketahanan sosial maupun ekonomi yang mandiri akan semakin tergerus di era globalisasi. 'Matinya Pasar Tradisional' tentunya akan berdampak lebih luas berkaitan dengan keberadaan jaringan ekonomi desa kota. Pada wilayah pen-supply komoditas maupun produsen berikut penunjang kegiatan pasar jasa maupun yang lain.
Interaksi sosial di dalam pasar tradisional cukup punya andil besar dalam membangun ketahanan sosial. Karena interaksi yang ada menghasilkan solidaritas keguyuban dan tidak sekedar berorientasi pada perilaku ekonomi. Bahwa berdagang tidak sekedar mencari keuntungan materi. Tapi lebih dari itu keuntungan sosial dalam kekerabatan menjadi tak kalah penting. Demikian pasar tradisional memiliki peran yang strategis dalam upaya membangun wawasan kebangsaan secara komprehensif dalam manggagas strategi kebudayaan masa depan yang tak lepas dari akar tradisinya.. Festival Pasar Kumandang IV 2008 adalah program rutin setiap tahun yang dimulai sejak tahun 2005.
AGENDA
18 Mei 2008
pk. 09.00 - 14.00 wib
Di PASAR GEDE
pk. 08.00 - 10.00 wib: Pembukaan Festival Seni Pasar Kumandang 2008
Fashion On The Pasar-SMK Marganingsih
Sesaji Kraton Surakarta
Greget Lesung loro blonyo, Persembahan Disparta karanganyar
Bancakan Jajan Pasar

pk. 08.00 - 14.00 wib: JELAJAH PUSAKA PASAR TRADISIONAL- Sekar Panji
Eksebisi Budaya Multi Etnik Nusantara
Rute : Pasar Gede- Pasar Kembang-Pasar Triwindu-Pasar Legi
Pasar Kembang, 10-13.00 Wib
Pameran dan Workshop Batik & topeng-tatah sungging oleh siswa ; MGMP seni & budaya
Fashion On The Pasar-SMK N 4 Solo
Pasar Triwindu. Pk. 11-14.00 Wib
Slametan pasar triwindu,pentas tari,keroncong, SBC dll
Pasar Legi.Pk 14.00-16.00 Wib
Pentas Kesenian Rakyat
19 Mei 2008
pk. 08.00-14.00 wib
Di PASAR GEDE
Pasamuan Saudagar Pasar Tradisional Nusantara
'Sarasehan & Pameran Profile Pasar Tradisional'
Pembicara : Ir.Widya Wijayanti,MURP( BPPI)
Wiharto(Pasamuan Pasar Tradisional Surakarta)
Prof. Dr. Edi Swasono
& utusan-utusan penggiat pasar-pasar tradisional di Indonesia
*Tari Kontemporer
PASAR NUSUKAN
Tobong Pasar Laras Laris
'Eksebisi Budaya Multi Etnik Nusantara'
Pk. 15.00 - 18.00- Pentas Seni : Sanggar seni Pasar Nusukan,Padmosusast ro.Sarwi Retno budaya,Metta Budaya,Semarak Candra Kirana,
Pk. 19.00 Wib- ,Ketoprak Taruna Budaya ISI Surakarta
20 Mei 2008
Di PASAR GEDE
09.00 - 14.00 wib
PASAMUAN PASAR KUMANDANG
'Dialog Interaktif Nilai-Nilai Nasionalisme'
Tema: Strategi Menumbuhkan Ekonomi Pasar Tradisional
Pembicara: M.Sobari (LIPI), Rahmad Wahyudi (Akuntan Publik)
14.00-17.00 wib. Di PASAR LEGI
RUWATAN PASAR KUMANDANG
Ki Lebdo Pujanggo -ISI Surakarta

Di PASAR GEDE
'Eksebisi Budaya Multi Etnik Nusantara'
15.00-17.00- Gamelan On The Street
19.00-20.00 - SESAJI PASAR TRADISIONAL SURAKARTA
- Pertunjukan Tari : Aneuk Nangroe Community
- Temperente Music Percussion
- Ps.Vocalista de Josepha
20.00-20.30 wib - Pidato Kebudayaan oleh Prof Dr.Waridi S.Kar.M.Hum

20.30-21.00 wib - Pentas Tari Sahita : Srimpi Kesrimpet
21.00-22.00 wib - Pidato Kebudayaan Oleh Goenawan Mohammad

Kerjasama
PASAMUAN PASAR TRADISIONAL SURAKARTA, KESBANGLINMAS PEMKOT SURAKARTA, DPP Pemkot Surakarta, MATaYA art & Heritage, Padepokan Lemah Putih, LPPM UNS, BPPI, DIPARSENIBUD Pemkot Surakarta dll.

Ketua Pelaksana: Suprapto Suryodarmo
Contact Person:
Heru Prasetya: 0816675808
Email: infomataya@yahoo. com, udandawet@gmail. com

Senin, 28 April 2008

JUNO: HARGA MENJADI DEWASA


Data teknis film:

Judul : Juno

Tahun Edar : 25 Desember 2007

Sutradara : Jason Reitman

Penulis Skenario : Diablo Cody

Produser : John Malkovich

Pemain : Ellen Page, Michael Cera

Durasi : 96 min

Produksi : Fox Searchlight

Juno adalah film tentang perjuangan. Juno adalah film tentang kemenangan. Juno adalah film tentang seorang remaja. Pada Juno kita tidak akan menemukan kisah peperangan, kisah aktivis, atau kisah seseorang yang berjuang melawan ketidakadilan di sebuah forum pengadilan. Pada Juno kita tidak akan menemukan kisah kemenangan tim olahraga, kemenangan seorang penulis, kemenangan politisi, atau kemenangan seorang seniman. Pada Juno kita ‘hanya’ akan menemukan kisah seorang anak remaja yang tumbuh dewasa. Hanya adalah kata yang sebenarnya tidak tepat dalam konteks ini, karena pada Juno kita akan menemukan bahwa perjuangan tumbuh dewasa tidak layak mendapatkan kata ‘hanya.’

Kisah ini dimulai dengan sebuah kursi, demikian Juno mulai bercerita dihadapan sebuah kursi malas empuk sambil meminum segalon jus jeruk. Gambar dilanjutkan pada suatu waktu dimana kursi tersebut masih ada di ruang tamu dan dengan deskripsi yang singkat, sederhana, dan jauh dari vulgar penonton akan mengerti bahwa Juno telah berhubungan sex dengan seorang anak laki-laki sebayanya di kursi itu. Gambar kemudian beralih ke Juno yang berjalan santai sambil membawa botol jus jeruk ke arah sebuah toko. Di toko tersebut Juno membeli tes kehamilan. Dari dialognya kita mengetahui, bahwa Juno telah datang ke toko itu untuk kesekian kalinya di hari yang sama, untuk membeli produk yang sama, yaitu produk test pack kehamilan. Ketika kasir berkomentar setengah mengejek, Juno dengan santai berkata bahwa produk yang sebelumnya ia beli tidak terlalu bagus, jadi ia ingin meyakinkan dengan produk yang lebih bagus. Juno berjalan ringan keluar toko, masuk ke rumahnya, menuju toilet, memakai test pack, keluar dari toilet, menuju toko, dan menemukan bahwa ia positif di hadapan kasir toko. Tanpa beban saja dia melakukannya. Juno kembali ke rumahnya, menuju kamarnya, menekan telpon hamburgernya dan berkata pada sahabatnya di ujung telfon, “I’m pregnant.” Masih tanpa ekspresi.

Amerika, Kebebasan, dan Juno yang Tumbuh Dewasa

Juno adalah seorang remaja 16 tahun, yang hamil karena satu kali hubungan sex dengan sahabatnya Paulie Bleeker. Juno kelihatan begitu tenang menghadapi kehamilannya. Ia bersikap demikian bukan karena dia tidak bingung memikirkan keadaannya yang hamil, tetapi karena dia tahu persis bahwa dia harus segera melakukan sesuatu.

Seperti yang banyak dialami remaja, Juno mencari pegangan pada sahabat perempuannya. Dari sahabatnya, ia mendapat beberapa informasi tentang tempat-tempat dimana ia dapat menggugurkan kandungannya dengan aman. Ada dua pilihan tempat, salah satunya adalah Women Now.

Salah satu hal yang menarik untuk diamati pada situasi ini adalah fakta bahwa Juno mendapatkan nomer telepon Women Now dari iklan di koran. Iklan ini bukan hanya iklan “tidak resmi” yang bertuliskan ‘terlambat haid?’ seperti iklan-iklan tempat aborsi ilegal yang tertempel di halte-halte, kamar mandi umum, atau batang pohon di trotoar jalan. Iklan ini adalah iklan yang sangat jelas dan resmi lengkap dengan keterangan jelas tentang Women Now plus tulisan yang mencolok di awal iklan tersebut: “Pregnant?” Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa konteks Amerika dalam film ini tidak dapat dilepaskan begitu saja.

Amerika melegalkan aborsi sejak tahun 1970’an. Sampai saat ini memang masih banyak kontroversi mengenai pelegalan ini terutama dari kalangan konservatif. Namun, pada kenyataannya Amerika terbuka terhadap aborsi. Salah satu contoh keterbukaannya adalah dengan banyaknya fasilitas aborsi legal yang dapat diakses secara terbuka. Tanpa berpanjang lebar membahas mengenai aborsi, satu hal positif yang dapat dipetik dari situasi Amerika ini adalah adanya pilihan-pilihan hidup yang tersedia luas dan dapat diakses dengan mudah.

Pilihan haruslah didukung dengan kebebasan memilih. Kebebasan itulah yang diberikan Amerika. Apakah Juno menggunakan kebebasannya dan melakukan aborsi di Women Now? Ternyata tidak. Mengapa? Karena dalam sistem yang bebas, kebebasan yang satu berinteraksi dengan kebebasan yang lain, yang sangat mungkin melahirkan keputusan-keputusan atau pemahaman-pemahaman yang baru.

Pada kasus Juno, kebebasannya untuk melakukan aborsi berinteraksi dengan kebebasan Shu Chin, teman sekelasnya, untuk berdemo di depan kantor Women Now. Shu Chin adalah salah satu contoh remaja produk kebebasan yang diberikan Amerika. Meskipun sendirian, Shu Chin dengan lantang menyuarakan protes terhadap aborsi di depan Women Now sambil membawa poster yang bergambar bayi yang sangat lucu. Sebagai bagian dari keyakinannya Shu Chin mencegah Juno untuk melakukan aborsi sambil berkata bahwa siapa tahu bayi yang dikandung Juno telah mampu merasakan sakit karena mereka punya finger nails.

Juno tetap masuk, dan mendaftarkan untuk melakukan aborsi. Di ruang tunggu Women Now penonton disuguhi serpihan-serpihan permasalahan sosial di Amerika yang sesungguhnya. Ada kemiskinan, kekerasan, free sex, dan banyak hal lain yang direpresentasikan perempuan-perempuan lain di ruang tunggu. Sebenarnya Juno juga termasuk bagian dari representasi masalah sosial yang menurut Bill Clinton paling parah menjangkiti Amerika, yaitu teen pregnancy. Pada situasi ini kita melihat ternyata kebebasan tidak serta merta berbanding lurus dengan keadilan sosial dan kesejahteraan warga negara. Namun, paling tidak hal ini telah membuat Juno, pada usia yang sangat muda melihat kenyataan di luar dirinya dan teman-teman SMU nya. Kenyataan ini ditambah inspirasi ‘finger nails’ dari Shu Chin membuat Juno membatalkan niatnya untuk aborsi. Apa yang dilakukan Juno setelah itu?

Amerika menawarkan pilihan yang lain. Iklan orang tua angkat di koran menjadi jalan baru untuk Juno. Ia bersama sahabatnya memutuskan untuk tetap melahirkan dan memberikan anak untuk di adopsi. Kali ini kita dapat mulai melihat proses pendewasaan Juno dari caranya memilih orang tua seperti apa yang dia inginkan. Pada titik ini Juno tidak lagi memikirkan dirinya tetapi anaknya. Terbukanya pilihan-pilihan orang tua melalui iklan di koran membantu Juno memanfaatkan kebebasannya untuk hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya juga anaknya.

Beberapa peristiwa dalam film Juno di atas menunjukkan kebebasan memilih dan pilihan-pilihan terbuka yang diberikan Amerika. Harga yang harus dibayar setiap anak memang mahal. Sebelum matang secara usia, kebebasan—termasuk kebebasan yang memberi ide pada Juno untuk berhubungan sex dengan teman laki-lakinya—membuat Juno harus berhadapan dengan persoalan-persoalan yang rumit. Tidak hanya itu, ia pun harus bersikap jauh lebih dewasa dari usianya dalam memposisikan diri di tengah perceraian pasangan ideal yang dipilihnya untuk menjadi orang tua angkat. Namun, kebebasan memilih pula yang akhirnya membawa Juno dapat tumbuh dewasa, belajar bertanggung jawab, membuat pilihan-pilihan, dan menanggung konsekuensinya.

Mendukung Anak Menemukan Jalan Hidupnya: Pelajaran dari Juno

Sebagai film yang “sangat Amerika”, bisa jadi kita agak enggan mengambil pelajaran dari Juno. Amerika kan liberal? Bagaimana bisa nilai-nilainya di-universal-kan dan diterapkan di banyak tempat? Memang benar, Amerika sebagai super power country yang sangat banyak diberitakan di seluruh dunia, membuat kita dapat mengenali banyak kelemahan dari sistem demokrasinya. Khusus berkaitan dengan anak, Amerika sampai saat ini juga belum meratifikasi konvensi hak anak PBB.

Namun, apakah benar tidak ada pelajaran yang bisa dipetik sama sekali dari Juno? Apakah benar kondisi Juno yang akhirnya menjadi mandiri dan menemukan kebijaksanaan hidupnya melalui pengalaman pahit hamil di usia dini hanya bisa terjadi di Amerika? Benarkah kita harus memiliki bentuk-bentuk kebebasan yang sama seperti Amerika agar dapat memfasilitasi tumbuh kembang anak?

Tidak serta merta mesti begitu, karena pelajaran utama yang dapat diambil dari Juno adalah bahwa proses pendewasaan Juno tidak semata-mata terjadi karena kebebasan-kebebasan ala Amerika yang tersebut di atas, tetapi karena adanya support system, termasuk dukungan yang sangat besar dari orang dewasa di sekitarnya. Shu Chin dengan segenap idealismenya, Ibu Juno yang dengan berani mendukung Juno di hadapan seorang pegawai rumah sakit yang mengejek Juno, Ayah Juno yang mendampingi Juno selama proses kehamilan, legal formal adopsi, dan kelahiran bayi Juno, calon ayah angkat si bayi yang dengan sabar mendengarkan cerita Juno, sampai kepada sistem yang bebas dan terbuka yang memungkinkan Juno berinteraksi dengan perasaan terdalamnya mengenai aborsi dan bayinya. Kemenangan Juno menghadapi persoalan hidupnya tanpa menjadi terpuruk tidak mungkin terjadi tanpa dukungan dan cinta yang sedemikian besar dari orang dewasa di sekitarnya.

Mungkinkah kita memberikan dukungan serupa pada anak-anak kita ketika ia berbuat kesalahan yang sedemikian besar? Bisakah kita menerima bahwa kesalahan bisa diperbuat siapa saja termasuk kita dan anak kita? Bisakah kita mendidik tanpa menghukum anak yang sebenarnya sudah jatuh? Saksikan Juno dan rasakan inspirasinya. ***Sakdiyah M.

Maulid Nabi


“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bersholawat untuk nabi. Hai orang-orang yang beriman, bersholawatlah kamu untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (Q.S. Al-Ahzab: 56)

Semasa sekolah dasar dulu, ada sebuah hari yang sangat spesial yang membuat saya merasa senang setiap kali menjumpainya. Hari tersebut adalah hari Maulid Nabi. Setiap bulan Rabiul Awal sekolah saya pasti mengadakan suatu seremoni untuk mengenang dan merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam tersebut.

Seperti sudah menjadi kebiasaan pada waktu menyambut hari besar itu, setiap siswa dianjurkan membawa sebungkus kue atau makanan kecil untuk kemudian dikumpulkan di suatu pos yang dijaga seorang guru kami. Ada bermacam-macam kue yang terkumpul di situ, mulai dari roti-rotian, buah-buahan, sampai berbagai macam snack pop yang biasa dijual di pasar tradisional di daerah kami.

Oleh beberapa guru, kumpulan makanan-makanan kecil tersebut kemudian dikompilasikan dengan yang lainnya dalam sebuah bungkus plastik. Setiap bungkus plastik nantinya akan berisi kompilasi 4 atau 5 makanan kecil yang berbeda-beda. Para guru yang bertugas di bagian logistik itu, membuat bungkusan tersebut sejumlah siswa dan guru yang ikut seremoni. Bungkusan-bungkusan plastik berisi kompilasi makanan kecil itu kemudian dibagikan kembali kepada kami para siswa—sebagai “jatah konsumsi” usai acara. Jadi prinsip “demokrasi” yang masyhur itu juga berlaku di acara kami itu khususnya di bagian logistik, yaitu “dari siswa, oleh siswa, dan untuk siswa” .

Dan juga, kalau sebelumnya kita, para siswa membawa sebungkus makanan yang “homogen”, maka setelah usai acara, kita akan mendapat sebungkus makanan kecil juga, namun dalam bentuk yang rupa-rupa alias “heterogen”, dan itulah yang menyenangkan kami, karena laksana pelangi, kompilasi dari berbagai macam makanan kecil itu begitu mempesonakan kami—tentu saja sebagai seorang bocah kecil waktu itu.

Begitulah potret romantisme tradisi Maulid Nabi di sekolah dasar negeri saya waktu itu. Ada rasa gembira dan senang yang saya dapat ketika mengikuti acara tersebut, meski saya tidak terlalu peduli dengan konten acaranya yang sangat klise yang biasanya disusun berurutan, yaitu: pembukaan, sambutan kepala sekolah, pembacaan ayat suci Alquran, materi ceramah umum, kemudian diakhiri doa bersama dan pembagian bungkusan makanan—yang tentu menjadi acara pungkasan terfavorit kami—para siswa.

Sekarang, ketika menjumpai momentum Maulid Nabi lagi, tiba-tiba memori saya sontak kembali ke masa kecil saya tersebut. Ada perasaan geli ketika mengenang masa itu. Masa ketika—substansi (acara Maulid Nabi) saya kesampingkan dan lebih memilih bentuk kemasannya saja (pesona makanan kecilnya).

Kemasan-kemasan acara dalam rangka Maulid Nabi seperti itulah yang sering saya temukan untuk sekarang ini. Bentuknya sering hanya seremoni selebrasif, tanpa menggugah lebih dalam spirit profetik substansi acaranya.

Mencoba Reflektif

Ingin berbeda dengan melakukan sesuatu yang agak berarti setelah mengenang kebengalanku waktu kecil itu, saya memutuskan untuk menelaah dan membaca kembali riwayat hidup Nabi untuk mengisi bulan Maulud ini. Saya ingin sekali “menembus ruang dan waktu”, masuk ke zaman Nabi ribuan tahun lalu, dan mengenal lebih dekat lagi sosok yang tiap hari saya sholawati lewat tasyahud akhir sholat saya itu.

Literatur yang saya pilih guna memuaskan hasrat saya itu adalah bukunya Karen Armstrong berjudul “Muhammad-Sang Nabi: Sebuah Biografi Kritis”, terbitan Risalah Gusti-Surabaya tahun 2001. Alasan saya ingin membaca biografi Nabi lewat tulisan Karen adalah karena saya sebelumnya cukup terpukau dengan bukunya yang lain yaitu “Sejarah Tuhan”. Dalam buku “Sejarah Tuhan”, Karen berhasil mengajak saya “berpetualang” untuk mengetahui peristiwa sejarah ketika Tuhan “ditemukan” dan kemudian disembah oleh berbagai umat beragama dengan berbagai konsepnya tentang Tuhan.

Dalam buku “Muhammad”-nya Karen Armstrong ini (setelah saya baca dengan penuh semangat, karena analisisnya begitu jernih sehingga enak dibaca), saya juga memetik beberapa hal yang cukup berarti. Buku ini berhasil menyajikan potret Muhammad dengan rasa simpati dan hormat—tanpa terlalu bersemangat menyanjung secara berlebihan—dan juga tanpa menghujat layaknya para orientalis zaman dulu.

Dan bagian yang begitu menarik perhatian saya adalah ketika Karen menuliskan bagian-bagian sisi “kemanusiaan” Nabi secara rinci nan memikat.

Lihatlah kutipan berikut yang menggambarkan sosok Nabi yang begitu humanis,

Muhammad memiliki bakat luar biasa dalam spiritual maupun politik—dua-duanya tidak selalu berjalan bersama—dan dia yakin bahwa semua umat beragama punya tanggungjawab masyarakat yang baik dan adil. Dia dapat menjadi sangat marah dan keras, namun dia juga bisa lembut, menghargai, rapuh, dan luar biasa baik. Kita tak pernah mendengar Yesus tertawa, namun sering kita membaca tentang Muhammad tersenyum dan menggoda orang yang dekat dengannya. Kita melihatnya bermain-main dengan anak-anak, menghadapi persoalan dengan istri-istrinya, menangis pilu ketika sahabatnya meninggal dunia, dan memamerkan bayi lelakinya seperti semua ayah yang bangga. (Armstrong, 2001:49).

Kutipan di atas adalah sebagian dari banyak narasi renik yang diungkapkan di buku ini tentang sosok Nabi yang juga “memanusia”. Nabi di sini digambarkan sebagai sosok yang begitu “membumi”, dan tidak hanya sebagai sosok yang selalu dikenal akan status “kelangitannya”. Seperti sebuah perumpamaan yang terkenal, Nabi ibarat batu mutiara di sekumpulan batu hitam biasa, sinarnya indah cemerlang menerangi sekitarnya, namun mutiara itu tetaplah sebuah batu dengan sifat-sifatnya yang lazim untuk ada.

Pada bagian-bagian yang menceritakan humanisme Nabi inilah saya sungguh amat terpesona. Kalau dulu saya membaca sirah Nabi umumnya hanya mengenai hal-hal pokok, agung, dan suci dalam kehidupan Nabi seperti, ketika Nabi pertama menerima wahyu, ketika Nabi hijrah, ketika Nabi Isra’ Mi’raj, ketika melakukan serangkaian peperangan yang heroik, dan akhirnya berhasil menaklukkan Mekkah tanpa pertumpahan darah, namun di buku ini saya berhasil menemukan narasi-narasi kecil lain yang humanis tentang Nabi yang selama ini kurang begitu tergali secara populer dan cuma sayup-sayup terdengar.

Kekuatan lain di buku ini adalah visi ilmiahnya yang kuat yang berjalan beriringan dengan semangat simpatiknya terhadap eksistensi Islam secara umum. Tidak seperti para orientalis zaman dulu yang cuma membahas Muhammad untuk kepentingan politik tertentu. Karen, sebagai seorang yang non-muslimah, tetap bisa fair menjaga ritme gerakan-gerakan narasi sejarah Islam dan Muhammad sonder menistakan secara apriori Islam sendiri, dan juga agama-agama di sekitarnya. Karen menawarkan perbandingan-perbandingan yang informatif antaragama dengan tetap merawat semangat pluralisme yang hakiki.

Saya kemudian berpikir, kalau saja Geert Wilders, pembikin film Fitna yang sangat membenci Islam itu mau membaca dan menelaah buku ini, mungkin dia akan mengurungkan niatnya “menyamakan” Alquran dengan Mein Kampf-nya Hitler, dan menuduh Islam fasis, lewat filmnya itu. Juga andaikata masyarakat Barat mau mengenal Muhammad lewat buku ini, tentu berbagai prasangka buruk akan berganti dengan perasaan simpati yang lembut.

Dan akhirnya, saya sangat berterima kasih kepada Karen Armstrong yang telah membantu saya mengenang Nabi melalui bukunya ini, sehingga momentum Maulid Nabi ini terasa begitu spesial, karena saya bisa kembali “men-charge” pengetahuan dan kecintaan saya pada Nabi. Meski yang saya lakukan ini tak begitu berarti, namun setidaknya spirit profetik Maulid Nabi dapat meresap ke hati saya. Dan kado kecil saya untuk Nabi, saya ucapkan selalu shalawat dan salam kepada beliau, keluarga, dan para sahabatnya.

Tahseen

Rabiul Awal 1429 H