Senin, 14 Juli 2008

ISLAM DAN SEMANGAT ANTIKEKERASAN

Syahdan suatu ketika Nabi dirundung kesedihan luar biasa ketika paman sekaligus pelindungnya di Mekkah, Abu Thalib meninggal dunia. Kesedihan tersebut merupakan kesedihan lanjutan, setelah sebelumnya, Khadijah—istri tercintanya juga meninggal dunia. Abu Thalib merupakan pelindung Nabi dari ancaman kaum kafir Qurays. Dan sepeninggal pamannya itu, praktis tidak ada lagi ”orang kuat” yang dapat melindungi Nabi dalam menyiarkan Islam di Mekkah. Terlebih jabatan ketua klan Bani Hasyim pasca-Abu Thalib, adalah Abu Lahab, seorang yang paling getol memusuhi Nabi.

Melalui beberapa ancaman yang dilakukan Abu Lahab dan gerombolannya, Nabi akhirnya melarikan diri dan bahkan menyingkir hingga ke sudut kota Thaif—sebuah kota kecil di utara Mekkah yang subur. Nabi bermaksud meminta bantuan keluarga Tsaqif—”juru kunci” kuil al-Lata di kota Thaif, sekaligus menyadarkannya supaya masuk Islam. Namun, permintaan Nabi tersebut ditolak. Bahkan keluarga Tsaqif memerintahkan budak-budaknya untuk mengejar dan membunuh Nabi. Dengan kondisi tubuh penuh luka dan berdarah-darah karena dilempari batu oleh para pengejarnya, dan merasa sudah tidak ada orang lagi yang akan bisa menolongnya, Nabi kemudian berdoa kepada Allah memohon pertolongan.

Doa Nabi kemudian menembus langit-mengguncang Arasy, tempat para Malaikat berkumpul. Malaikat Jibril pun memimpin ”pasukan” Malaikat menemui Nabi dan menawarkan bantuan: “Wahai Nabi, jika engkau meminta kami mencabut gunung-gunung, lalu ditimpakan kepada para kaum Thaif yang kurang ajar itu, kami akan lakukan”. Nabi SAW dengan santun menjawab: “Bahkan jika mereka tidak mau beriman dan taat kepada Tuhan, aku masih tetap berharap akan ada anak-anak dan cucu-cucu mereka yang menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Biarkan saja mereka, karena mereka memang orang-orang yang tidak tahu.” 'Allahumma ihdi qawmi fa innahum la ya'lamun' (Wahai Tuhan, berilah petunjuk kepada mereka, karena mereka tidak tahu)," demikian doa Nabi kala itu.

Demikianlah secuil kisah inspiratif yang bisa menggugah batin kita. Nabi—dengan segala kesabarannya telah menunjukkan kepada kita bahwa berdakwah dengan tanpa kekerasan adalah prinsip utama dalam Islam. Bahkan ketika posisi Nabi yang sangat terdesak seperti cerita di atas, Nabi tetap ”berkepala dingin”, tidak mau menggunakan ”pasukan” malaikatnya berbuat kekerasan.

Kisah di atas tentu sangat kontras apabila kita kaitkan dengan realitas-realitas sekarang ini. Realitas ketika—atas nama agama, sekelompok teroris dengan ”dinginnya” meledakkan sebuah pesawat terbang, tempat hiburan, dan banyak fasilitas umum. Realitas ketika—atas nama agama juga, sekelompok umat mayoritas membumihanguskan tempat tinggal dan rumah ibadah umat lain yang kebetulan berbeda dan minoritas.

Realitas-realitas kekerasan semacam ini kemudian membuat kita berpikir kembali tentang fungsi agama secara fundamental. Fungsi agama yang seharusnya memberikan ketenteraman, kedamaian, dan ketertiban, justru terlihat berubah sama sekali. Agama terlihat ”berparas” menakutkan. Penuh dengan darah dan air mata. Agama—bahkan tidak lagi sesuai dengan visi etimologisnya yang paling fundamental yakni a: tidak/tanpa, dan gama: yang berarti kekacauan.

Islam yang Selalu Menebar Perdamaian bagi Semesta

Bagimana dengan Islam? Citra Islam dalam satu dasawarsa terakhir ini memang sedikit banyak dilumuri oleh “kekerasan” dan “tindak teror”. Citra seperti ini, menurut saya, adalah akibat tindak tanduk sebagian kecil penganut Islam yang masih saja berlaku “radikal”, masih menggunakan cara-cara kekerasan seperti di atas untuk menghadapi “yang lain”. Meskipun, tentu saja saya tak boleh menyederhanakan permasalahan, tentang penyebab-penyebab serta pemicu munculnya tindak kekerasan yang membabi buta tersebut. Namun pada prinsipnya bagi saya, Islam tidaklah seperti itu. Islam merupakan agama yang selalu memancarkan sinar-sinar kasih sayang dan perdamaian.

Secara etimologis, Islam berasal dari bahasa Arab aslama- yuslimu islam yang berarti menyelamatkan, menyerahkan diri, tunduk dan patuh. Sebagian ahli bahasa menyebutkan bahwa Islam berasal dari akar kata silm yang mengandung arti selamat, sejahtera dan damai. Kedua pendapat ini, menurut saya, mempunyai hubungan pengertian yang mendasar yaitu penyerahan diri kepada Yang Maha Pencipta karena adanya tujuan untuk memperoleh kedamaian.

Islam yang muncul sebagai agama paling “bungsu” diantara agama-agama samawi sebelumnya kemudian mendeklarasikan ”kredo” agamanya yang terkenal, yaitu agama yang rahmatan lil alamin, agama yang merupakan rahmat bagi seluruh alam ini. Dengan “platform” ini, agama Islam jelas-jelas ingin membawa “berkah” bukan hanya bagi internal umat Islam, namun juga ingin memancarkan rahmatnya bagi seluruh umat agama lain—semua manusia, bahkan untuk keseluruhan alam ini. Semangat kasih sayang yang luar biasa seperti inilah yang harus disadari oleh kita umat muslim sepenuhnya. Hingga kemudian, kehadiran Islam di bumi ini, bukanlah menjadi suatu ancaman bagi “yang lain”, melainkan menjadi “sesuatu” yang dapat menginspirasikan adanya persaudaraan dan perdamaian antarsesama makhluk Tuhan. Sesuatu yang benar-benar bisa membuat setiap makhluk di bumi ini merasa nyaman dan aman, ketika berhadap-hadapan maupun menjumpainya.

Pesona al Rahman dan al Rahim

Platform Islam ini kemudian amat pararel dengan sifat-sifat Tuhan yang paling populer disebut makhluknya, yakni al Rahman dan al Rahim. Sering kita membaca kedua sifat Tuhan ini dalam basmalah tanpa menyadari spirit hakikinya. Al Rahman dan al Rahim adalah sifat Tuhan yang bermakna Yang Maha Pengasih dan Penyayang (Welas Asih)—dunia akhirat. Sifat ini ditujukan kepada manusia, baik itu muslim ataupun non-muslim, bahkan kepada hewan, tumbuhan dan seluruh isi alam ini. Sifat Maha Welas Asih ini begitu murni memancar ke semua makhluknya tersebut tanpa diskriminasi. Orang muslim boleh menikmati fasilitas sinar matahari, menikmati segarnya udara dan air, menggunakan akal pikirannya untuk kehidupan yang lebih baik, dan boleh menginjakkan kakinya untuk melangsungkan hidupnya di dunia ini, begitupun pula dengan orang-orang non-muslim lain. Segala makhluk berhak dan butuh kepada pancaran kasih sayang Tuhan ini. Tidak ada diskriminasi, tidak ada pengecualian. Sifat yang mulia inilah yang harusnya memancar ke dalam kalbu setiap manusia. Sifat yang selalu berwelas asih kepada sesamanya tanpa bersikap diskriminatif apalagi fasis.

Mengenai problem perbedaan mazhab, keyakinan, agama, atau kepercayaan, itu adalah urusan lain. Tuhan Yang Maha Benar, akan “menyelesaikan” masalah ini secara tuntas di akhirat nanti.

Emanasi sifat al Rahman dan al Rahim

Sifat al Rahman dan al Rahim dari Tuhan ini terlihat begitu memesona hingga kemudian “diadopsi” oleh beberapa orang hebat dalam sejarah dunia. Contoh yang sangat pasti tentu saja Nabi Muhammad sendiri. Sastrawan sufi Syaikh Jalaluddin Rumi juga “mereferensi” sifat Tuhan ini. Banyak syair-syair buatannya memancarkan spirit cinta dan kebersamaan yang begitu mendalam antarsesama manusia.

Namun yang saya amati kemudian, ternyata banyak tokoh bijak dalam sejarah manusia, yang non-muslim, yang berhasil “menangkap” sifat mulia Tuhan ini dan kemudian menyebarkannya ke masyarakat sekitarnya sebagai simbol perjuangan untuk perdamaian dan kemuliaan kemanusiaan. Tokoh seperti Gandhi adalah contoh yang baik dalam hal ini. Tokoh spiritual Hindu ini berhasil mengadopsi sifat Tuhan tersebut melalui semangat perjuangannya yang masyhur, yaitu ahimsa (tanpa kekerasan), dan satyagraha (selalu membela kebenaran). Perjuangan Gandhi ini kemudian meninspirasikan jutaan manusia lain untuk melawan ketidakadilan dan penindasan kemanusiaan di seluruh dunia dengan tanpa kekerasan. Tercatat orang seperti Nelson Mandela kemudian “mengambil berkah” semangat Gandhi ini untuk menentang rezim Apertheid di Afrika Selatan, dan usahanya tersebut berhasil dengan gemilang. Semangat Gandhi ini juga menyebar hingga ke Amerika Serikat pada tahun 1960-an melalui tokohnya yang terkenal yaitu Martin Luther King Jr dalam perjuangannya melawan diskriminasi terhadap orang-orang kulit hitam.

Selain terhadap Gandhi, sifat Tuhan ini juga merasuk ke sanubari sejumlah tokoh terkenal lain yang berdedikasi tinggi terhadap perdamaian dan kemanusiaan di dunia. Kita melihat Bunda Theresa, seorang biarawati Katholik, yang bersedia meninggalkan gereja dan asramanya untuk turun langsung menolong sesama manusia yang sakit dan miskin di India. Dia merawat ribuan penderita kusta, mengajari anak-anak yang buta huruf, menyelamatkan banyak nyawa, hingga namanya begitu harum dihormati seluruh manusia di bumi ini hingga sekarang. Kita juga melihat seorang Muhamad Yunus yang mencetuskan ide sistem kredit yang teramat lunak kepada ribuan warga miskin di Bangladesh—tanpa melihat latar belakang agama, suku, dan ras mereka, sehingga menolong mereka dari jeratan “kekerasan” kehidupan, yakni kemiskinan yang berlarut-larut. Dan yang paling mutakhir adalah Al Gore, seorang cendekiawan dan politikus asal Amerika Serikat yang mengkampanyekan bahaya pemanasan global, hingga menggugah kesadaran seluruh warga dunia untuk kemudian “bersikap arif” terhadap lingkungan hidup di sekitarnya.

Tokoh-tokoh hebat di atas, saya anggap berhasil menerjemahkan sifat mulia Tuhan ini dengan arif dan kreatif. Apa yang telah dilakukan mereka—tokoh-tokoh hebat itu, terlihat “sangat islami”—meskipun dengan tanpa mencoba “memformalkannya”. Dan pastinya, segala perjuangan mereka tentu akan menjadi inspirasi dan referensi abadi bagi perjuangan perdamaian dan kemanusiaan di muka bumi ini, di masa kini dan mendatang.

Semangat Perdamaian dalam Shalat

Platform Islam rahmatan lil alamin dan sifat Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang ini kemudian juga termanifestasikan lagi dalam ritual Islam yang paling fundamental, yaitu shalat. Dalam ritual yang kita lakukan minimal lima kali sehari ini, terdapat doa yang akan membuat kita selalu rendah hati yaitu Ihdina al shiraathal mustaqim ”tunjukkanlah kepada kami pada jalan yang lurus”. Doa yang terdapat di surat al Fatihah ini bahkan wajib kita ucapkan 17 kali sehari sebagai perwujudan betapa kita selalu ingin dan mengharapkan petunjuk ”jalan yang lurus” kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Suatu sikap rendah hati yang mencerminkan keberadaan kita yang belum tentu sudah ”lurus” selurus lurusnya, atau sudah ”benar” sebenar-benarnya. Keberadaan kita sebagai makhluk yang memang (sudah memeluk) Islam namun tetap senantiasa butuh petunjuk Tuhan dengan tanpa ”menuding” makhluk lain—yang ”berbeda” sebagai ”yang sesat” dan ”harus dimusnahkan”. Doa ini kemudian diperindah dengan rukun shalat yang terakhir, yakni salam. Dalam salam, kita memalingkan wajah ke kanan dan ke kiri sambil mengucapkan assalamualaikum warahmatullah. Sebuah simbol bahwa seorang muslim yang baik, harus selalu menebar kedamaian kepada sekitarnya. Sebuah ending ritual yang begitu menyejukkan hati. Salam merupakan manifestasi muslim bagi perdamaian untuk semesta.

Walhasil, kehadiran Islam di dunia, sebenarnya adalah ingin menebar benih perdamaian untuk menuai kemaslahatan semesta. Bukan memelihara kekerasan dan perusakan. Sebuah cita-cita yang tentu akan di-amin-i oleh seluruh muslim di muka bumi ini.

Taxin

Jakarta, 13 Juli 2008

Tidak ada komentar: