Rabu, 16 Juli 2008

Irshad Manji Menggugat Gender dan Homoseksualitas

Irshad Manji, seorang feminis muslim yang dengan terang-terangan mengaku lesbian. Ia meneriakkan protes keras terhadap pelanggaran atas nama Islam di kalangan perempuan dan kelompok minoritas—termasuk kelompok homoseks.

Di mata kalangan Islam fundamental, Irshad Manji, perempuan berumur empat puluhan ini tak lebih dari seorang provokator yang menyebarkan tafsir setan atas Al Qur'an. Melalui buku “Beriman Tanpa Rasa Takut: Tantangan Umat Islam Saat Ini” Irshad melakukan protes keras atas ketidakadilan atas nama agama. Ia melakukan kritik keras penafsiran terhadap Al Qur'an yang sedikit memberikan ruang kebebasan kepada perempuan dan kelompok minoritas.

Dalam buku tersebut, Irshad mangaku sebagai seorang muslim Refusenik. Ia memilih ungkapan itu sebagai bentuk pilihan sikap. Feminis yang lahir di Uganda ini memilih bersikap tidak mau menjadi “robot” yang dengan mudah dimobilisasi untuk melakukan tindakan atas nama agama. Sebagai perempuan yang dilahirkan dalam keluarga Islam, Irshad Manji menemui banyak diskriminasi terhadap perempuan.

Ketika kecil, Irshad mendapat pengalaman yang tidak menyenangkan ketika menuntut ilmu di Madrasah. Pengalaman yang jauh berbeda menurutnya jika dibandingkan ketika berada di Gereja atau di tempat ia menuntut ilmu di junior schools. Di madrasah, demi menjadi seorang perempuan muslim, Irshad harus menanggalkan identitas dirinya sebagai pemikir. Karena sikap kritisnya yang selalu mempertanyakan Islam, Irshad bahkan diusir keluar dari madrasah.

Hidup di keluarga Islam dengan superioritas seorang Ayah, Irshad tumbuh menjadi gadis yang tidak memimpikan laki-laki. Dididik dalam keluarga dimana perempuan diperlakukan dengan banyak hal yang pedih karena kekuasaan Ayah yang sewenang-wenang, Irshad tidak menolak hubungan cinta sesama. Pada usia duapuluh tahun, Irshad menemukan kekasih pertamanya. Ia kemudian secara terbuka menyatakan dirinya sebagai seorang lesbian.

Keberanian Irshad bukan tanpa alasan. Menurutnya, tidak ada masalah ketika ia membuka statusnya sebagai seorang muslim yang lesbian. Muslim adalah agama dan menemukan pasangan lesbian adalah kebahagian. Tidak ada diantaranya yang saling bertentangan.dalam perjalanan hidupnya, Irshad berupaya melakukan rekonsiliasi homoseksualitas dengan Islam. Ia melakukan introspeksi hingga ia nyaris keluar dari Islam meskipun hal tersebut tidak jadi dilaksanakannya.

Memasuki usia duapuluhan, dalam proses pencarian jati dirinya, Irshad menekuni kegiatannya sebagai seorang wartawan. Irshad pada tahun 1998 bahkan memandu sebuah acara TV dan Internet bernama Queer Television yang mengupas budaya gay dan lesbian. Acara tersebut secara terbuka mengundang caci maki baik dari kalangan Islam Fundamentalis. Seringkali Irshad mendapatkan kiriman surat yang berisi kebencian dan kemarahan bahkan ancaman akan dibunuh. Padahal dalam Al Qur’an tegas dinyatakan, “Allah membuat sempurna segala sesuatu yang Dia ciptakan,” termasuk di dalamnya demikian dalih Irshad menjawab ancaman tersebut.

Menurut Irshad, Islam menjadi bencana bagi kaum homoseksualitas. Secara tidak langsung, Irshad menyatakan hal tersebut terjadi karena para ahli kitab kebanyakan memahami ayat-ayat homoseksualitas dengan perspektif bias heteronormativitas. Akibatnya, kaum homoseks yang terdiri dari Gay dan Lesbian diposisikan sebagai kelompok yang menyimpang dan menjadi akar konflik dalam pelaksanaan agama.

Tidak hanya bersimpati kepada homoseksualitasdimana ia menjadi bagian di dalamnyaIrshad juga menolak segala bentuk kekerasan terhadap perempuan atas nama agama. Ia melihat, di hampir semua negara muslim, kekerasan terhadap perempuan marak terjadi. Di Pakistan, setiap hari rata-rata dua perempuan mati akibat pembunuhan atas nama kehormatan. Di Tunisia dan di Aljazair, perempuan muslim tidak bisa secara hukum menikah dengan laki-laki non muslim, namun laki-laki bebas menentukan pilihan.

Bahkan, di Arab Saudi, kaum perempuan yang berjumlah lima puluh tujuh persen dari penduduk dianggap sebagai kaum minor selama-lamanya. Hukum sangat tidak memihak kepada perempuan. Sebagai bukti, kaum perempuan di Arab tidak boleh hadir di pengadilan bahkan ketika dia dituduh membunuh. Bentuk kepatuhan hukum dan diskriminasi kepada perempuan pada Maret 2002 mengakibatkan limabelas siswa perempuan tewas dalam kebakaran. Penyebabnya sederhana, siswa yang telah lolos dari jilatan lidah api justru dipaksa masuk ke kobaran api hanya karena tidak mengenakan abaya (pakaian yang membungkus seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan).

Menurut Irshad Manji, tribalisme gurun pasir serta paternalisme suku padang pasir menjadi biang kerok diskriminasi terhadap perempuan. Dalam karakter Islam padang pasir, kekerasan dan pemerkosaan atas nama agamas sering terjadi. Akibatnya, Dalam menjalankan ajaran Islam, sulit dibedakan mana keadilan (justice) dan pembenaran (justifikasi). Meningkatnya totalitarianisme Islam dan tidak terkendalinya politik di kawasan timur Tengah menjadi bukti. Meskipun banyak umat Islam yang berbicara lantang menolak kesewang-wenangan atas nama Islam.

Mereka berpatokan pada Al Qur’an yang menyatakan bahwa “laki-laki dapat berkuasa atas perempuan karena mereka ‘memberikan nafkah dari hartanya”. Ayat tersebut bahkan dalam perjalanan sejarahnya pada tahun 1990 mampu mempengaruhi Deklarasi Kairo tentang Hak Asasi Manusia yang didukung oleh negara muslim. Ayat Al Qur’an yang lain menyebutkan, “istrimu adalah ladang bagimu. maka datangilah ladangmu itu kapan saja dengan cara yang kau sukai”. Padahal, ada ayat Al Qur’an yang menyatakan bahwa “suami bertanggungjawab atas kebutuhan dan kesejahteraan keluarga”. Menurut Irshad, Islam sebagai agama yang flexibel harusnya beradaptasi untuk hal yang baik, bukan hal yang buruk.

Irshad mengutip pendapat Ibnu Rusyd tentang kesetaraan gender. Dalam pandangan Ibnu Rusyd “kemampuan perempuan tidak dikenali karena mereka diturunkan derajatnya dengan hanya untuk mengurusi protekrasi, membesarkan anak dan menyusui. Irshad sependapat dengan Ibn Rusyd bahwa memperlakukan perempuan sebagai beban kaum laki-laki, menjadi penyebab munculnya kemiskinan. Hal itu yang menjadi bukti betapa negara-negara di Timur Tengah berada dalam garis kemiskinan.

Meskipun banyak ketidak beresan yang diakibatkan karena penafsiran terhadap Islam, namun Islam bukan masalah. Bahkan dalam sistem pemerintahan, Islam tidak merekomendasikan bentuk tertentu pemerintahan. Menurut Irshad Manji, Islam setidaknya menjadi alat pemersatu karena secara tidak langsung ada anggapan umat bahwa yang mempersatukan mereka adalah iman dan Tuhan.

Dalam bukunya ini, Irshad melihat musuh yang dihadapi oleh Islam adalah berasal dari kalangan mereka sendiri. Pasca runtuhnya menara kembar WTC, umat Islam hidup dalam kebohongan dengan menyatakan bahwa Islam dibajak. Mereka tidak mengakui adanya masalah dalam Islam dan justru membangun romantisme dan bukan refleksi. Umat Islam justru memupuk kebencian terhadap Amerika atau Barat.

Umat Islam harus menyadari tantang yang dihadapi. Kita bisa belajar banyak dari sejarah runtuhnya Islam di Spanyol. Pada waktu itu, Islam bukan hancur karena pasukan Kristen tetapi karena ulah Islam sendiri. Biang keladi yang paling bertanggungjawab dalam menggerus kaum muslim adalah umat Islam sendiri. Kaum muslim memaksakan hukum perang dan saling menghancurkan kebebasan.

Menurut Irshad Manji dalam bukunya ini, untuk menyelamatkan Islam, ada tiga cara yang harus dilakukan. Pertama, merevitalisasi ekonomi dengan melibatkan potensi wanita, kedua memberikan tantangan kepada bangsa Arab padang pasir untuk melakukan penafsiran yang beragam terhadap Islam. Ketiga, bekerjasama dengan barat dan bukan melawannya.

Pemikiran Irshad ditopang dengan adanya laporan laporan tahun 2002, dalam Arab Human Development Report. PBB menegur pemerintah Arab karena mengabaikan energi dari perempuan yang jumlahnya setengah penduduk. Pemberdayaan perempuan menjadi defisit yang diangkat dalam laporan tersebut selain defisit dalam pengetahuan dan kebebasan.

Selain itu, pemikiran itu juga didukung oleh analisis bahwa; pertama perdagangan selalu membantu melumasi roda hubungan, baik antara kaum muslim, Yahudi maupun Kristen. Kedua, tidak ada larangan bagi perempuan untuk berbisnis. Menurut Irshad Manji, Kapitalisme yang sadar akan Tuhan serta ditopang oleh peran perempuan mungkin bisa menjadi jalan untuk memulai reformasi terhadap Islam. Tahap yang penting untuk dilakukan adalah melakukan operasi ijtihad dengan memberdayakan lebih banyak perempuan muslim untuk menjadi wirausahawan.

Dalam operasi ijtihad, Irshad memberi contoh dengan mengutip No-Nonsense Guide to International Development. “Dari satu juta orang, tiga perempatnya perempuan telah menerima pinjaman mikro di lebih dari empat puluh negara sejak bank Grameen dibuka. Contoh lain, pinjaman mikro Muhammad Yunus untuk memberdayakan perempuan di Bangladesh hingga Chichago. Irshad dalam buku ini juga menganjurkan kepada umat Islam untuk berlaku jujur. Dalam bab terakhir, disebutkan bahwa untuk kepentingan perkembangan Islam umat Islam harus berterimakasih kepada kebudayaan barat.

Namun, yang penting dikuak dalam buku ini adalah hasil dari eksplorasi dan interpretasi terhadap Al Qur’an oleh Irshad Manji yaitu; pertama hanya Tuhan yang sebenarnya tahu kebenaran dari segala hal. Kedua, hanya Tuhan yang bisa menghukum orang yang tak beriman. Ketiga kesadaran kita membebaskan diri untuk merenung kehendak Tuhan tanpa kewajiban apa-pun untuk tunduk pada tekanan dan prinsip atau paham tertentu.

Tak salah dengan keberanian Irshad untuk melakukan kritik terhadap Islam, ia mendapat ditasbihkan sebagai satu dari tiga muslimah yang menciptakan perubahan positif dalam Islam. Buku ini bahkan kemudian diterbitkan di tigapuluh negara dan meraih The International Bestseller dan The Nweyork Times Bestseller. Buku ini menjadi bacaan yang menarik bagi anda yang ingin mengetahui tentang persoalan kekerasan terhadap perempuan serta homoseksualitas. Hal tersebut menjadi tantangan yang harus dihadapi umat Islam dewasa ini.

Tidak ada komentar: