

Review atas Film Mukhsin karya Yasmin Ahmad
Film Mukhsin merupakan film Malaysia pertama yang saya tonton. Cukup ironis memang, melihat Malaysia yang merupakan “saudara” serumpun Indonesia yang letak geografisnya paling dekat, ternyata tidak menjamin “lalu lintas” perfilman di dua negara ini menjadi lancar. Saya pikir, hal ini tentu berhubungan dengan monopoli distribusi perfilman di kedua negeri ini yang dikuasai 21 yang umumnya menampilkan film-film
Yang saya akrabi tentang
Saya beruntung bisa “menemukan” film Mukhsin ini dari sebuah rental DVD film-film festival di kawasan Tebet dan kemudian menontonnya. Pada Jiffest 2007 lalu, sebetulnya film ini pernah ikut diputar di seksi pemutaran film-film Asia Tenggara. Namun karena suatu hal, saya tidak berhasil menontonnya.
Mukhsin (2007) merupakan film terakhir dari trilogy Orked. Dua film sebelumnya adalah Sepet (2004) dan Gubra (2006). Sengaja saya menonton Mukhsin terlebih dahulu, karena “termakan” persuasi “guider” rental DVD nya, yang menerangkan tentang “alur” hidup tokoh utamanya di trilogy itu, yakni Orked. “Di Mukhsin, Orked masih kecil, sedang di Sepet dan Gubra, Orked telah dewasa”, demikian penjelasan guider. Saya kemudian “mengikuti petunjuk” sang guider, dan lalu mencomot Mukhsin untuk saya bawa pulang dan kemudian saya tonton.
Film ini menceritakan kisah cinta pertama Orked (10 tahun) dan Mukhsin (12 tahun). Pada adegan pertama diceritakan Orked (10 tahun) yang secara “personal” diberi tugas gurunya untuk membuat karangan cerita selama liburan sekolah yang sudah di depan mata. Orked menerima tugas itu dengan lapang dada meski dia sendirian yang diberi tugas sementara temen-temannya lain tidak.
Orked-pun pulang ke rumah dan berencana menghabiskan liburannya di kampungnya. Di adegan-adegan selanjutnya diperlihatkan sosok Orked yang kelihatan tomboy. Orked ogah ketika diajak main pengantin-pengantinan bersama teman-teman perempuannya, dan lebih memilih bermain dengan temen-teman lelakinya. Di sinilah kemudian Orked berkenalan dengan Mukhsin (12 tahun), teman sepermainannya yang merupakan “orang baru” di kampungnya. Mukhsin berasal dari keluarga berantakan dan memilih tinggal bersama bibinya di kampung tersebut. Jalinan persahabatan antara Orked dan Mukhsin berkembang akrab. Mukhsin pun terlihat dekat dengan Orked dan keluarganya. Sering Mukhsin diajak nonton bola bersama keluarga Orked.
Melalui kedekatan yang akrab, tak terasa benih-benih cinta pun muncul di antara kedua insan kecil itu. Benih cinta yang sederhana. Yang merupakan sesuatu yang ”orisinal” dan pertama dialami oleh keduanya, yaitu cinta pertama.
Keduanya pun “bergaya pacaran” dengan mesranya. Mukhsin memboncengkan Orked di sepeda bututnya keliling kampung. Duduk “bahagia” berdua di sebatang pohon yang berhasil mereka panjat. Dan bermain layang-layang berdua di persawahan hijau. Pengambilan gambar di adegan-adegan ini sering dibuat statis. Lanskap-lanskap bersetting kampung seperti pepohonan rindang, hamparan sawah yang menguning, dan jalan-jalan setapak kampung terlihat tampak elok terlihat. Sutradara kayaknya ingin mengoptimalkan ”suasana” yang terbangun dan akting kedua bocah kecil ini yang natural. Patut dicatat--- menurut keterangan yang saya dapat—pemeran Orked (Syarifah Aryana) dan Mukhsin (Mohd. Syafei Naswip) adalah ”orang biasa”, yang belum mempunyai pengalaman main film sebelumnya.
The minute I herad my first love story
I started looking for you
Not knowing how blind that was
Lovers don’t finally meet somewhere
They’re in each other all along
Dan menurut saya, yang paling ”kuat” dalam film ini adalah tata-musiknya. Film ini merupakan salah satu film yang cukup berhasil menyajikan score yang “akan selalu diingat” penontonnya (terutama untuk penonton
Pada kemunculannya di awal film, lagu ini dimainkan secara “unplugged” oleh Pak Atan (ayah Orked) dan teman-temannya di depan rumah, “diiringi” adegan Orked yang menari lepas bersama Mak Inom (Ibunya) di halaman rumahnya ketika kemudian gerimis air hujan turun ke bumi.
Lagu ini kemudian muncul kembali di akhir film. Memaksa penonton untuk ikut tersenyum “bahagia” menyaksikan adegan “kebersamaan”para kru film plus Yasmin sendiri, berkumpul di tengah-tengah Pak Atan (asli) yang memainkan piano dan Mak Inom (asli) yang bertindak sebagai vokalis untuk menyanyikan sebuah lagu yang mencerminkan keagungan Tuhan dan rasa syukur atas indahnya kebersamaan ini.
Berikut lirik lagu Keroncong Hujan—yang setelah saya selesai nonton film ini, masih saja terngiang-ngiang di benak saya. Lirik lagu yang membikin saya merasa “fly”…
Mega mendung di angkasa
Hembusan bayu dingin terasa
gerimis berderai di merata
bagai mutiara
Rahmat dibawa bersama
Limpahannya meresap dijiwa
adakala bahgia terasa
meskipun duka nestapa
Tika hujan turun
sayup mendayu lagu keroncong
merdu irama dialun
bersenandung
Hujan membasahi bumi
melahirkan keluhuran budi
mengeratkan perpaduan suci
kasih sayang abadi
“Everyone has a first love story to tell”, demikianlah kalimat prolog di trailer film ini. Kalimat yang membuat saya terbawa kembali ke masa lalu ‘tuk bernostalgia ke masa ABG saya—mengenang “my first love” yang selalu membuat dada saya berdebar-debar, bukan karena sakit “jantungan”, namun karena sentuhan kelembutan cinta.
Taxin
Jakarta, 1 Juli 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar