Senin, 28 April 2008

JUNO: HARGA MENJADI DEWASA


Data teknis film:

Judul : Juno

Tahun Edar : 25 Desember 2007

Sutradara : Jason Reitman

Penulis Skenario : Diablo Cody

Produser : John Malkovich

Pemain : Ellen Page, Michael Cera

Durasi : 96 min

Produksi : Fox Searchlight

Juno adalah film tentang perjuangan. Juno adalah film tentang kemenangan. Juno adalah film tentang seorang remaja. Pada Juno kita tidak akan menemukan kisah peperangan, kisah aktivis, atau kisah seseorang yang berjuang melawan ketidakadilan di sebuah forum pengadilan. Pada Juno kita tidak akan menemukan kisah kemenangan tim olahraga, kemenangan seorang penulis, kemenangan politisi, atau kemenangan seorang seniman. Pada Juno kita ‘hanya’ akan menemukan kisah seorang anak remaja yang tumbuh dewasa. Hanya adalah kata yang sebenarnya tidak tepat dalam konteks ini, karena pada Juno kita akan menemukan bahwa perjuangan tumbuh dewasa tidak layak mendapatkan kata ‘hanya.’

Kisah ini dimulai dengan sebuah kursi, demikian Juno mulai bercerita dihadapan sebuah kursi malas empuk sambil meminum segalon jus jeruk. Gambar dilanjutkan pada suatu waktu dimana kursi tersebut masih ada di ruang tamu dan dengan deskripsi yang singkat, sederhana, dan jauh dari vulgar penonton akan mengerti bahwa Juno telah berhubungan sex dengan seorang anak laki-laki sebayanya di kursi itu. Gambar kemudian beralih ke Juno yang berjalan santai sambil membawa botol jus jeruk ke arah sebuah toko. Di toko tersebut Juno membeli tes kehamilan. Dari dialognya kita mengetahui, bahwa Juno telah datang ke toko itu untuk kesekian kalinya di hari yang sama, untuk membeli produk yang sama, yaitu produk test pack kehamilan. Ketika kasir berkomentar setengah mengejek, Juno dengan santai berkata bahwa produk yang sebelumnya ia beli tidak terlalu bagus, jadi ia ingin meyakinkan dengan produk yang lebih bagus. Juno berjalan ringan keluar toko, masuk ke rumahnya, menuju toilet, memakai test pack, keluar dari toilet, menuju toko, dan menemukan bahwa ia positif di hadapan kasir toko. Tanpa beban saja dia melakukannya. Juno kembali ke rumahnya, menuju kamarnya, menekan telpon hamburgernya dan berkata pada sahabatnya di ujung telfon, “I’m pregnant.” Masih tanpa ekspresi.

Amerika, Kebebasan, dan Juno yang Tumbuh Dewasa

Juno adalah seorang remaja 16 tahun, yang hamil karena satu kali hubungan sex dengan sahabatnya Paulie Bleeker. Juno kelihatan begitu tenang menghadapi kehamilannya. Ia bersikap demikian bukan karena dia tidak bingung memikirkan keadaannya yang hamil, tetapi karena dia tahu persis bahwa dia harus segera melakukan sesuatu.

Seperti yang banyak dialami remaja, Juno mencari pegangan pada sahabat perempuannya. Dari sahabatnya, ia mendapat beberapa informasi tentang tempat-tempat dimana ia dapat menggugurkan kandungannya dengan aman. Ada dua pilihan tempat, salah satunya adalah Women Now.

Salah satu hal yang menarik untuk diamati pada situasi ini adalah fakta bahwa Juno mendapatkan nomer telepon Women Now dari iklan di koran. Iklan ini bukan hanya iklan “tidak resmi” yang bertuliskan ‘terlambat haid?’ seperti iklan-iklan tempat aborsi ilegal yang tertempel di halte-halte, kamar mandi umum, atau batang pohon di trotoar jalan. Iklan ini adalah iklan yang sangat jelas dan resmi lengkap dengan keterangan jelas tentang Women Now plus tulisan yang mencolok di awal iklan tersebut: “Pregnant?” Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa konteks Amerika dalam film ini tidak dapat dilepaskan begitu saja.

Amerika melegalkan aborsi sejak tahun 1970’an. Sampai saat ini memang masih banyak kontroversi mengenai pelegalan ini terutama dari kalangan konservatif. Namun, pada kenyataannya Amerika terbuka terhadap aborsi. Salah satu contoh keterbukaannya adalah dengan banyaknya fasilitas aborsi legal yang dapat diakses secara terbuka. Tanpa berpanjang lebar membahas mengenai aborsi, satu hal positif yang dapat dipetik dari situasi Amerika ini adalah adanya pilihan-pilihan hidup yang tersedia luas dan dapat diakses dengan mudah.

Pilihan haruslah didukung dengan kebebasan memilih. Kebebasan itulah yang diberikan Amerika. Apakah Juno menggunakan kebebasannya dan melakukan aborsi di Women Now? Ternyata tidak. Mengapa? Karena dalam sistem yang bebas, kebebasan yang satu berinteraksi dengan kebebasan yang lain, yang sangat mungkin melahirkan keputusan-keputusan atau pemahaman-pemahaman yang baru.

Pada kasus Juno, kebebasannya untuk melakukan aborsi berinteraksi dengan kebebasan Shu Chin, teman sekelasnya, untuk berdemo di depan kantor Women Now. Shu Chin adalah salah satu contoh remaja produk kebebasan yang diberikan Amerika. Meskipun sendirian, Shu Chin dengan lantang menyuarakan protes terhadap aborsi di depan Women Now sambil membawa poster yang bergambar bayi yang sangat lucu. Sebagai bagian dari keyakinannya Shu Chin mencegah Juno untuk melakukan aborsi sambil berkata bahwa siapa tahu bayi yang dikandung Juno telah mampu merasakan sakit karena mereka punya finger nails.

Juno tetap masuk, dan mendaftarkan untuk melakukan aborsi. Di ruang tunggu Women Now penonton disuguhi serpihan-serpihan permasalahan sosial di Amerika yang sesungguhnya. Ada kemiskinan, kekerasan, free sex, dan banyak hal lain yang direpresentasikan perempuan-perempuan lain di ruang tunggu. Sebenarnya Juno juga termasuk bagian dari representasi masalah sosial yang menurut Bill Clinton paling parah menjangkiti Amerika, yaitu teen pregnancy. Pada situasi ini kita melihat ternyata kebebasan tidak serta merta berbanding lurus dengan keadilan sosial dan kesejahteraan warga negara. Namun, paling tidak hal ini telah membuat Juno, pada usia yang sangat muda melihat kenyataan di luar dirinya dan teman-teman SMU nya. Kenyataan ini ditambah inspirasi ‘finger nails’ dari Shu Chin membuat Juno membatalkan niatnya untuk aborsi. Apa yang dilakukan Juno setelah itu?

Amerika menawarkan pilihan yang lain. Iklan orang tua angkat di koran menjadi jalan baru untuk Juno. Ia bersama sahabatnya memutuskan untuk tetap melahirkan dan memberikan anak untuk di adopsi. Kali ini kita dapat mulai melihat proses pendewasaan Juno dari caranya memilih orang tua seperti apa yang dia inginkan. Pada titik ini Juno tidak lagi memikirkan dirinya tetapi anaknya. Terbukanya pilihan-pilihan orang tua melalui iklan di koran membantu Juno memanfaatkan kebebasannya untuk hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya juga anaknya.

Beberapa peristiwa dalam film Juno di atas menunjukkan kebebasan memilih dan pilihan-pilihan terbuka yang diberikan Amerika. Harga yang harus dibayar setiap anak memang mahal. Sebelum matang secara usia, kebebasan—termasuk kebebasan yang memberi ide pada Juno untuk berhubungan sex dengan teman laki-lakinya—membuat Juno harus berhadapan dengan persoalan-persoalan yang rumit. Tidak hanya itu, ia pun harus bersikap jauh lebih dewasa dari usianya dalam memposisikan diri di tengah perceraian pasangan ideal yang dipilihnya untuk menjadi orang tua angkat. Namun, kebebasan memilih pula yang akhirnya membawa Juno dapat tumbuh dewasa, belajar bertanggung jawab, membuat pilihan-pilihan, dan menanggung konsekuensinya.

Mendukung Anak Menemukan Jalan Hidupnya: Pelajaran dari Juno

Sebagai film yang “sangat Amerika”, bisa jadi kita agak enggan mengambil pelajaran dari Juno. Amerika kan liberal? Bagaimana bisa nilai-nilainya di-universal-kan dan diterapkan di banyak tempat? Memang benar, Amerika sebagai super power country yang sangat banyak diberitakan di seluruh dunia, membuat kita dapat mengenali banyak kelemahan dari sistem demokrasinya. Khusus berkaitan dengan anak, Amerika sampai saat ini juga belum meratifikasi konvensi hak anak PBB.

Namun, apakah benar tidak ada pelajaran yang bisa dipetik sama sekali dari Juno? Apakah benar kondisi Juno yang akhirnya menjadi mandiri dan menemukan kebijaksanaan hidupnya melalui pengalaman pahit hamil di usia dini hanya bisa terjadi di Amerika? Benarkah kita harus memiliki bentuk-bentuk kebebasan yang sama seperti Amerika agar dapat memfasilitasi tumbuh kembang anak?

Tidak serta merta mesti begitu, karena pelajaran utama yang dapat diambil dari Juno adalah bahwa proses pendewasaan Juno tidak semata-mata terjadi karena kebebasan-kebebasan ala Amerika yang tersebut di atas, tetapi karena adanya support system, termasuk dukungan yang sangat besar dari orang dewasa di sekitarnya. Shu Chin dengan segenap idealismenya, Ibu Juno yang dengan berani mendukung Juno di hadapan seorang pegawai rumah sakit yang mengejek Juno, Ayah Juno yang mendampingi Juno selama proses kehamilan, legal formal adopsi, dan kelahiran bayi Juno, calon ayah angkat si bayi yang dengan sabar mendengarkan cerita Juno, sampai kepada sistem yang bebas dan terbuka yang memungkinkan Juno berinteraksi dengan perasaan terdalamnya mengenai aborsi dan bayinya. Kemenangan Juno menghadapi persoalan hidupnya tanpa menjadi terpuruk tidak mungkin terjadi tanpa dukungan dan cinta yang sedemikian besar dari orang dewasa di sekitarnya.

Mungkinkah kita memberikan dukungan serupa pada anak-anak kita ketika ia berbuat kesalahan yang sedemikian besar? Bisakah kita menerima bahwa kesalahan bisa diperbuat siapa saja termasuk kita dan anak kita? Bisakah kita mendidik tanpa menghukum anak yang sebenarnya sudah jatuh? Saksikan Juno dan rasakan inspirasinya. ***Sakdiyah M.

Maulid Nabi


“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bersholawat untuk nabi. Hai orang-orang yang beriman, bersholawatlah kamu untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (Q.S. Al-Ahzab: 56)

Semasa sekolah dasar dulu, ada sebuah hari yang sangat spesial yang membuat saya merasa senang setiap kali menjumpainya. Hari tersebut adalah hari Maulid Nabi. Setiap bulan Rabiul Awal sekolah saya pasti mengadakan suatu seremoni untuk mengenang dan merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam tersebut.

Seperti sudah menjadi kebiasaan pada waktu menyambut hari besar itu, setiap siswa dianjurkan membawa sebungkus kue atau makanan kecil untuk kemudian dikumpulkan di suatu pos yang dijaga seorang guru kami. Ada bermacam-macam kue yang terkumpul di situ, mulai dari roti-rotian, buah-buahan, sampai berbagai macam snack pop yang biasa dijual di pasar tradisional di daerah kami.

Oleh beberapa guru, kumpulan makanan-makanan kecil tersebut kemudian dikompilasikan dengan yang lainnya dalam sebuah bungkus plastik. Setiap bungkus plastik nantinya akan berisi kompilasi 4 atau 5 makanan kecil yang berbeda-beda. Para guru yang bertugas di bagian logistik itu, membuat bungkusan tersebut sejumlah siswa dan guru yang ikut seremoni. Bungkusan-bungkusan plastik berisi kompilasi makanan kecil itu kemudian dibagikan kembali kepada kami para siswa—sebagai “jatah konsumsi” usai acara. Jadi prinsip “demokrasi” yang masyhur itu juga berlaku di acara kami itu khususnya di bagian logistik, yaitu “dari siswa, oleh siswa, dan untuk siswa” .

Dan juga, kalau sebelumnya kita, para siswa membawa sebungkus makanan yang “homogen”, maka setelah usai acara, kita akan mendapat sebungkus makanan kecil juga, namun dalam bentuk yang rupa-rupa alias “heterogen”, dan itulah yang menyenangkan kami, karena laksana pelangi, kompilasi dari berbagai macam makanan kecil itu begitu mempesonakan kami—tentu saja sebagai seorang bocah kecil waktu itu.

Begitulah potret romantisme tradisi Maulid Nabi di sekolah dasar negeri saya waktu itu. Ada rasa gembira dan senang yang saya dapat ketika mengikuti acara tersebut, meski saya tidak terlalu peduli dengan konten acaranya yang sangat klise yang biasanya disusun berurutan, yaitu: pembukaan, sambutan kepala sekolah, pembacaan ayat suci Alquran, materi ceramah umum, kemudian diakhiri doa bersama dan pembagian bungkusan makanan—yang tentu menjadi acara pungkasan terfavorit kami—para siswa.

Sekarang, ketika menjumpai momentum Maulid Nabi lagi, tiba-tiba memori saya sontak kembali ke masa kecil saya tersebut. Ada perasaan geli ketika mengenang masa itu. Masa ketika—substansi (acara Maulid Nabi) saya kesampingkan dan lebih memilih bentuk kemasannya saja (pesona makanan kecilnya).

Kemasan-kemasan acara dalam rangka Maulid Nabi seperti itulah yang sering saya temukan untuk sekarang ini. Bentuknya sering hanya seremoni selebrasif, tanpa menggugah lebih dalam spirit profetik substansi acaranya.

Mencoba Reflektif

Ingin berbeda dengan melakukan sesuatu yang agak berarti setelah mengenang kebengalanku waktu kecil itu, saya memutuskan untuk menelaah dan membaca kembali riwayat hidup Nabi untuk mengisi bulan Maulud ini. Saya ingin sekali “menembus ruang dan waktu”, masuk ke zaman Nabi ribuan tahun lalu, dan mengenal lebih dekat lagi sosok yang tiap hari saya sholawati lewat tasyahud akhir sholat saya itu.

Literatur yang saya pilih guna memuaskan hasrat saya itu adalah bukunya Karen Armstrong berjudul “Muhammad-Sang Nabi: Sebuah Biografi Kritis”, terbitan Risalah Gusti-Surabaya tahun 2001. Alasan saya ingin membaca biografi Nabi lewat tulisan Karen adalah karena saya sebelumnya cukup terpukau dengan bukunya yang lain yaitu “Sejarah Tuhan”. Dalam buku “Sejarah Tuhan”, Karen berhasil mengajak saya “berpetualang” untuk mengetahui peristiwa sejarah ketika Tuhan “ditemukan” dan kemudian disembah oleh berbagai umat beragama dengan berbagai konsepnya tentang Tuhan.

Dalam buku “Muhammad”-nya Karen Armstrong ini (setelah saya baca dengan penuh semangat, karena analisisnya begitu jernih sehingga enak dibaca), saya juga memetik beberapa hal yang cukup berarti. Buku ini berhasil menyajikan potret Muhammad dengan rasa simpati dan hormat—tanpa terlalu bersemangat menyanjung secara berlebihan—dan juga tanpa menghujat layaknya para orientalis zaman dulu.

Dan bagian yang begitu menarik perhatian saya adalah ketika Karen menuliskan bagian-bagian sisi “kemanusiaan” Nabi secara rinci nan memikat.

Lihatlah kutipan berikut yang menggambarkan sosok Nabi yang begitu humanis,

Muhammad memiliki bakat luar biasa dalam spiritual maupun politik—dua-duanya tidak selalu berjalan bersama—dan dia yakin bahwa semua umat beragama punya tanggungjawab masyarakat yang baik dan adil. Dia dapat menjadi sangat marah dan keras, namun dia juga bisa lembut, menghargai, rapuh, dan luar biasa baik. Kita tak pernah mendengar Yesus tertawa, namun sering kita membaca tentang Muhammad tersenyum dan menggoda orang yang dekat dengannya. Kita melihatnya bermain-main dengan anak-anak, menghadapi persoalan dengan istri-istrinya, menangis pilu ketika sahabatnya meninggal dunia, dan memamerkan bayi lelakinya seperti semua ayah yang bangga. (Armstrong, 2001:49).

Kutipan di atas adalah sebagian dari banyak narasi renik yang diungkapkan di buku ini tentang sosok Nabi yang juga “memanusia”. Nabi di sini digambarkan sebagai sosok yang begitu “membumi”, dan tidak hanya sebagai sosok yang selalu dikenal akan status “kelangitannya”. Seperti sebuah perumpamaan yang terkenal, Nabi ibarat batu mutiara di sekumpulan batu hitam biasa, sinarnya indah cemerlang menerangi sekitarnya, namun mutiara itu tetaplah sebuah batu dengan sifat-sifatnya yang lazim untuk ada.

Pada bagian-bagian yang menceritakan humanisme Nabi inilah saya sungguh amat terpesona. Kalau dulu saya membaca sirah Nabi umumnya hanya mengenai hal-hal pokok, agung, dan suci dalam kehidupan Nabi seperti, ketika Nabi pertama menerima wahyu, ketika Nabi hijrah, ketika Nabi Isra’ Mi’raj, ketika melakukan serangkaian peperangan yang heroik, dan akhirnya berhasil menaklukkan Mekkah tanpa pertumpahan darah, namun di buku ini saya berhasil menemukan narasi-narasi kecil lain yang humanis tentang Nabi yang selama ini kurang begitu tergali secara populer dan cuma sayup-sayup terdengar.

Kekuatan lain di buku ini adalah visi ilmiahnya yang kuat yang berjalan beriringan dengan semangat simpatiknya terhadap eksistensi Islam secara umum. Tidak seperti para orientalis zaman dulu yang cuma membahas Muhammad untuk kepentingan politik tertentu. Karen, sebagai seorang yang non-muslimah, tetap bisa fair menjaga ritme gerakan-gerakan narasi sejarah Islam dan Muhammad sonder menistakan secara apriori Islam sendiri, dan juga agama-agama di sekitarnya. Karen menawarkan perbandingan-perbandingan yang informatif antaragama dengan tetap merawat semangat pluralisme yang hakiki.

Saya kemudian berpikir, kalau saja Geert Wilders, pembikin film Fitna yang sangat membenci Islam itu mau membaca dan menelaah buku ini, mungkin dia akan mengurungkan niatnya “menyamakan” Alquran dengan Mein Kampf-nya Hitler, dan menuduh Islam fasis, lewat filmnya itu. Juga andaikata masyarakat Barat mau mengenal Muhammad lewat buku ini, tentu berbagai prasangka buruk akan berganti dengan perasaan simpati yang lembut.

Dan akhirnya, saya sangat berterima kasih kepada Karen Armstrong yang telah membantu saya mengenang Nabi melalui bukunya ini, sehingga momentum Maulid Nabi ini terasa begitu spesial, karena saya bisa kembali “men-charge” pengetahuan dan kecintaan saya pada Nabi. Meski yang saya lakukan ini tak begitu berarti, namun setidaknya spirit profetik Maulid Nabi dapat meresap ke hati saya. Dan kado kecil saya untuk Nabi, saya ucapkan selalu shalawat dan salam kepada beliau, keluarga, dan para sahabatnya.

Tahseen

Rabiul Awal 1429 H