Selasa, 25 Maret 2008

AYAT-AYAT KECEWA


Review atas Film Ayat-Ayat Cinta Karya Hanung Bramantyo

Bagaimana seandainya suatu bagian dari film yang sangat Anda sukai tiba-tiba diambil begitu saja untuk digunakan di film lain secara berlebihan. Misalkan saja, bagaimana seandainya score/musik film Godfather yang legendaris itu digunakan untuk film lain, atau misalkan score film Titanic yang masyhur itu dipakai oleh film lain secara jelas sekali dan tanpa “rekayasa” apapun. Terlepas pengambilan atau adopsi musik itu melalui prosedur resmi atau tidak. Mungkin hal ini akan Anda rasakan aneh atau ganjil. Hal semacam inilah yang juga saya rasakan dan agaknya cukup mengganggu saya ketika nonton film Ayat-Ayat Cinta (AAC) arahan Hanung Bramantyo yang saat ini laris di pasaran.

Adalah musik latarnya yang sangat mengejutkan saya. Bukan lagu Ayat-Ayat Cinta yang dibawakan oleh Rossa dan Sherina itu, namun backsound piano dan orkestra yang ada di hampir setiap adegan yang diasumsikan memancing emosi dan keharuan penontonnya. Lihatlah ketika adegan upacara pernikahan Fahri dengan Aisha. Atau ketika Fahri ada di “hotel prodeo” dan kemudian dikunjungi Aisha, atau pas adegan akhir di film ini. Belum lagi adegan-adegan lain—yang tentu saya akan lupa kalau disuruh menyebutkan satu persatu. Backsound adegan-adegan ini, ternyata menjiplak habis-habisan score/music dari film Korea Selatan favorit saya—Taegukgi—arahan sutradara Kang Je Gyu. Film ini diproduksi tahun 2004 dan berhasil menyabet beberapa penghargaan internasional, di samping juga sangat laris di pasaran domestik Korea Selatan sendiri.

Kebetulan saya sangat mengagumi film Kang Je Gyu ini (termasuk score-nya) sampai-sampai saya merekam manual musik latarnya ini menggunakan flash disk untuk sekedar saya dengarkan di komputer saya secara berkala. Memang, kadang kalau saya sangat suka dengan sesuatu, saya tak mudah melupakannya begitu saja. Dan untuk film Taegukgi, karena film ini merupakan one of the greatest film that ever i seen, maka saya rela repot-repot merekamnya, meskipun hasilnya kurang begitu bagus terdengar.

Kembali ke AAC. Film adaptasi dari novel yang berjudul sama karya Habiburrahman El Shirazy ini memang meledak di pasaran dan banyak dibicarakan orang untuk sekarang ini. Mungkin karena “kedorong” dengan kesuksesan novelnya juga, sehingga film ini dinanti-nanti para alumni pembaca novelnya, di samping juga—tahu sendiri lah…omongan dari mulut ke mulut eks penonton dengan calon penonton yang rata-rata para remaja seusia SMP dan SMA, di samping juga dorongan iklan di media yang sangat besar, sehingga sampai minggu ketiga Maret ini, berita yang saya terima menyebutkan bahwa film ini telah ditonton dua juta orang. Jumlah ini tentu besar sekali kalau dibandingkan dengan jumlah penonton untuk film-film Indonesia lain sekarang ini.

Sebelum nonton, saya cukup sadar dengan “identitas” film ini. Film ini diproduksi MD Entertainment dengan produsernya Duo Punjabi yaitu Dhamoo dan Manoj Punjabi, yang cukup terkenal dengan produksi sinetron popnya di televisi-televisi Indonesia. Kalau hanya melihat sisi ini, saya mungkin akan enggan nonton film produksi PH ini. Namun saya masih mempertimbangkan sosok Hanung Bramantyo sebagai sutradaranya. Saya cukup mengapresiasi karya dia sebelumnya, yaitu Brownies. Brownies menurutku cukup bagus dan layak dipuji karena memang betul-betul cukup kuat sebagai sebuah film. Bahkan film ini mendapat beberapa penghargaan di Festival Film Indonesia, termasuk Penghargaan Sutradara Terbaik. Masalah sumber cerita film AAC ini—yaitu yang dari novel yang berjudul sama, saya juga tidak terlalu terobsesi—oleh sebab itu saya belum membacanya.

Film ini menceritakan kisah Fahri, mahasiswa Indonesia yang sedang kuliah di Al Azhar, Kairo-Mesir, dengan empat gadis cantik, yang jatuh cinta kepadanya secara bersamaan. Film dibuka dengan pesona lantunan shalawat dari Emha Ainun Najib yang cukup berkarakter. Beberapa adegan pembuka memperlihatkan suasana di dalam flat Fahri (diperankan Fedi Nuril), ketika Fahri minta bantuan Maria (Gadis Kristen Koptik)—teman satu flatnya—untuk membetulkan komputernya yang kena virus. Ada sedikit adegan kocak di sini. Namun di adegan-adegan pertama inilah keningku memulai kerutannya, karena saya kira, musik latar di adegan ini mirip-mirip dengan musik di salah satu filmnya Nia Dinata. Adegan-adegan selanjutnya mengalir dengan biasa saja, nyaris tanpa memeras emosi psikologis saya sebagai penonton. Kemudian sampailah pada adegan Fahri menikah dengan Aisha—seorang Jerman. Musik pada adegan ini lagi-lagi langsung menghentak saya, karena saya cukup mengenal musik ini—yaitu musiknya film Taegukgi seperti yang saya sebut di atas. Saya mau tidak mau, langsung kecewa melihat hal ini. “Ah, lagi-lagi jiplak,” demikian gumamku.

Untuk selanjutnya saya sudah tidak bersemangat lagi nonton film ini karena banyak keganjilan-keganjilan lanjutan yang saya lihat. Proses pernikahan Fahri dan Aisha misalnya yang terlihat sangat instan. Bagaimana mungkin urusan nikah kok seperti memilih kucing dalam karung. Fahri cuma ta’aruf dengan Aisha dengan melihat paras ayunya kemudian langsung ho’oh, mau kawin dengannya, tanpa melalui proses “pengenalan dan pengakraban tahap lanjut” misalkan melalui diskusi, tukar pikiran atau sebagainya. Dan inilah yang terjadi ketika Aisha mulai curiga pada sosok Fahri—yang kemudian tersandung kasus kriminal setelah sebulan menikah. Dia “baru mulai” menyelidiki dan menginvestigasi sosok “misterius” suaminya tersebut. “Wah, apa udah nggak kesiangan?,” demikian saya pikir.

Keganjilan lain yang saya dapatkan adalah masalah bahasa. Pada adegan-adegan awal, terlihat bahwa bahasa Arab digunakan pada konteksnya secara benar, misalnya dialog Fahri dengan Maria di awal film. Namun pada beberapa adegan lain, pemakaian bahasa terlihat tidak pas konteksnya. Lihat saja ketika Fahri masuk penjara dan langsung disamperin teman satu selnya dan menyapa dengan memakai bahasa Indonesia. Lho kok? Benar memang, menurut saya, tahanan tersebut adalah orang Mesir atau paling tidak bukan orang Indonesia lah, tapi kok memakai bahasa Indonesia. Juga ketika dialog Aisha dengan pamannya (diperankan Surya Saputra), memakai bahasa Indonesia juga, bukan bahasa Jerman atau Arab misalnya. Dan pas adegan di pengadilan, hakim memakai bahasa Indonesia. Di sinilah menurutku Hanung kurang begitu cermat menggarap hal ini.

Hal lain yang membuatku semakin tidak berharap banyak pada film ini adalah pupusnya menikmati panorama dan keeksotisan Mesir sebagai latar tempat di film ini. Dengan adanya apologi yang menyebutkan, bahwa ada kendala masalah izin syuting di Mesir terkait dengan tingginya biaya, sehingga tidak bisa mengambil gambar di negara ini, dan kemudian agaknya disiasati oleh sutradara dengan lebih banyak mengambil gambar di indoor saja. Untung saja adegan-adegan di dalam ruangan ini banyak tertolong dengan kecemerlangan kamera dalam mengambil angle-angle gambar yang artistik.

Faktor lain yang agaknya cukup mengganggu adalah masalah casting pemain. Banyak pemain di film ini yang menurutku tidak cukup pantas memerankan perannya. Fedi Nuril agaknya kurang begitu tepat memerankan sosok Fahri yang digilai oleh banyak gadis. Karakter dan sosok Fedi terlalu lugu dan lembek di film ini, aktingnya pun biasa saja. Lalu ada banyak pemeran yang menurutku too much Indonesian faces. Lihat saja sosok yang memerankan paman Aisha, si Surya Saputra. Harusnya Hanung berani mencari orang yang betul-betul Jerman, atau minimal bule. Demikian pula sosok Marini yang memerankan Ibu si Maria, yang harusnya sosok permpuan Arab Mesir Koptik tulen. Sosok Rianti Cartwright yang memerankan Aisha juga terlalu MTV sehingga imej tersebut susah dihilangkan.

Akhirnya, hal yang juga patut dicermati dalam film ini adalah pemotretan isu poligami. Fahri—layaknya Don Juan—membuat banyak perempuan di sekitarnya klepek-klepek takluk kepadanya. Meski secara akting dan performa sangat jauh dari harapan, namun secara skenario—tuntutan cerita (dari novel), para perempuan tersebut akhirnya menjadi istri Fahri meskipun terfilter cuma dua orang yaitu Aisha dan Maria. Di sinilah saya kira peran si penulis novel yang menentukan. Habiburrahman menghembuskan isu poligami ini dengan sangat halus, meski pada akhirnya perspektifnya terlihat agak paternalistik, saya kira. Isu poligami yang di Islam sendiri menjadi isu yang terus “panas” dan “kontroversial”, di film ini menemukan suatu bentuk kasusnya tersendiri. Dan yang pasti, saya menduga banyak penonton yang melihat kasus poligami di film AAC ini pasti hanya manggut-manggut saja, mengiyakan, atau saya yakin, pasti sedikit orang yang menolak “deskripsi persuasif” dari penulis novel ini tentang isu poligami.

Secara keseluruhan memang film ini kurang begitu menggigit. Tampaknya ada “energi” yang belum keluar sepenuhnya dari Hanung, sehingga film ini terkesan biasa saja. Dan juga, tak ada sentuhan estetik baru yang ditawarkan Hanung dalam film ini. Mungkin keunikan film ini hanya pada teamnya. Film ini adalah film yang bernafaskan Islami dan dari novel Islami juga, namun disutradarai oleh sutradara “sekuler”, produser “sekuler”, dan para pemain yang mayoritas “sekuler” . Hal lain yang cukup positif adalah, film ini muncul di tengah serbuan film-film bergenre horror yang sedang menyesaki bioskop-bioskop Indonesia. Dan hal menarik lain yang juga terlihat adalah, adanya kecenderungan bertemunya tiga kompoenen kebudayaan, yaitu sisi ekonomi kapital, sisi religiusitas, dan sisi kesenian. Tiga komponen ini telah berjabat tangan erat untuk bersedia berjalan bersama sehingga didapat suatu bentuk ekspresi religiusitas, kesenian dan kebudayaan yang ngepop dan digandrungi banyak masyarakat. Gejala ini memuaskan mayoritas masyarakat pemirsanya, menggelembungkan uang produsernya, dan menambah daya jual sutradara dan para pemainnya. Namun demikian, seperti sifat-sifat budaya populer yang telah ada, saya yakin film ini hanya akan “dibicarakan sesaat” dan kemudiaan tenggelam digeser dengan “dagangan” baru yang lebih ngepop. Masuk nominasi festival film internasional? Hmm…Sangat pesimis deh…

Takhsinul Khuluq

Jakarta, 23 Maret 2008

Selasa, 11 Maret 2008

Supersemar Surat Sakti "Semar Super"



Sekalipun telah berlangsung lebih dari empat dasawarsa, Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) masih diselimuti misteri. Selubung misteri ini pun tak ayal menuai kontroversi karena Supersemar dijadikan legitimasi peralihan kekuasaanmeminjam istilah Asvi Marwan Adam “Kudeta Merangkak”.

Supersemar dipelintir sebagai penyerahan mandat dari Presiden Soekarno kepada Soehartowaktu itu berpangkat Letjend dan menduduki jabatan Menteri Panglima Angkatan Darat. Dengan surat ini, Soeharto kemudian mengambil alih kewenangan Soekarno hingga kemudian diangkat oleh DPR/MPR sebagai Presiden ke II.

Namun, sebagai surat yang berpengaruh sangat besar, hingga sekarang kebaradaan surat ini belum bisa ditemukan. Berbagai pihak yang terlibat dalam pelemik surat sakti ini sudah uzur dimakan usia. Sulit untuk melakukan rekonstruksi jika hanya mengandalkan ingatan dari para aktor sejarah ini. Sebut saja Soehartosebagai aktor utamaterganggu ingatannya karena didera berbagai penyakit yang tidak saja menggerogoti tubuhnya tetapi juga menghapus memori di kepalanya.

Supersemarsebagai surat saktiuntuk keperluan penulisan sejarah tetap perlu diuji kebenarannya. Walaupun implikasi politiknya semakin kecil, karena Soeharto bukan lagi menjabat Presiden, keberadaan surat ini perlu diketahui masyarakat. Kepentingannya agar bangsa ini bisa belajar dan tidak lagi menjadi “bangsa keledai” yang terperosok ke dalam permasalahan yang sama beberapa kali.

Kontroversi Supersemar menjadi isu yang hangat karena menyangkut peralihan kekuasaan bahkan dianggap sebagai coup de etat secara halus. Ada berbagai versi yang menceritakan proses lahirnya surat ini. Namun, sebenarnya ada tokoh kunci untuk menguak misteri Supersemar yaitu Jenderal (purn) Amir Machmud, Jenderal (purn) Basuki Rahmat dan juga Jenderal (purn) M Yusuf yang pada saat itu menemui Soekarno di Istana Bogor.

Banyak pihak yang masih berseteru soal kemunculan Supersemar. Ada yang menuding ketiga Jenderal (M. Yusuf, Basuki Racmat, Amir Machmud) memaksa Soekarno untuk menandatangani surat. Bahkan menurut keterangan Letnan Satu Sukardjo Wilardjitopengawal presidenketiga Jenderal tersebut menodongkan senjatanya ke arah Soekarno. Hal senada dibenarkan mantan komandan Cakrabirawa Brigadir Jenderal Sabur maupun Wakil Perdana Menteri I Soebandrio.

Pengakuan ini dibantah oleh Mantan Mesesneg Moerdiono maupun Mantan Wapres Soedharmono. Menurut Moerdiono dan Soedharmonoinisiatif keluarnya surat berasal dari ketiga Jenderal tersebut. Mereka berdiskusi dengan Soekarno tentang situasi negara yang dalam kondisi kritis dan mengusulkan agar menyerahkan kewenangan kepada Soeharto selaku Pangkopkamtib untuk menyelesaikan masalah. Soekarno menyetujui usulan ketiga jenderal tersebut dengan membuat Supersemar.


Bukan hanya soal bagaimana munculnya Supersemar, polemik juga muncul tatkala ada beberapa versi Supersemar. A. Pambudi dalam historiografinya berjudul “Supersemar Palsu, Kesaksian Tiga Jenderal”.menyebutkan terdapat tiga versi Supersemar. Menurut Pambudi, dari tiga versi Supersemar diketahui ada perbedaan dalam hal format penulisan maupun kop surat yang digunakan. Yang lebih gila lagi, tandatangan Presiden Soekarno juga berbeda antara surat satu dengan lainnya. A.Pambudi merinci, dari ketiga surat, diketahui 21 perbedaan.

Sebenarnya telah banyak usaha untuk menyingkap tabir misteri keberadaan Supersemar. Sebut saja misalnya hostoriografi karya A.M. Hanafimantan Dubes Kuba yang diberhentikan secara inkonstitusional oleh Soeharto dalam bukunyaMenggugat Kudeta Soeharto", Tidak hanya dari kalangan akademisi dan sejarahwan, M.Yusuf sebagai aktor juga berusaha mengungkap dalam biografinya yang berjudul “Jenderal M. Jusuf Penglima Para Prajurit”. Bahkan, sudah berapa ratus kali diadakan diskusi ataupun seminar untuk mencari kebenaran Supersemar, namun tetap masih gelap.

Berbagai research juga sudah direncanakan dengan berupaya memanggil para aktor sejarah seperti M Yusuf. Namun, sebelum semuanya terungkap, saksi kunci M. Yususaksi terakhir dari tiga jenderal yang menemui Soekarnomeninggal dunia pada 8 September 2004 sebelum memberikan keterangan tentang Supersemar. Saksi kunci peristiwa ini sudah tidak ada lagi. Soeharto sebagai pemegang mandat sudah berdiam meninggal dan di kebumikan di Astana Giri Bangun di penghujung 2007 kemarin.

Yang tersisa sekarang hanya saksi pelaku sejarah. Bukan aktor utama dalam peristiwa tersebut. Dalam terminologi sejarah mereka disebut “an eye withness history”. Sebut saja seperti Sukardjo Wilardjito yang mantan pengawal presiden kemudian Mantan Komandan Satgas 11 Maret. Bahkan, dalam diskusi pagi tadi di salah-satu tv swasta, keduanya masih berbeda pendapat. Bahkan, sang mantan Dansatgas dengan tegas menyatakan, penelusuran Supersemar tidak penting dilakukan. Semua sudah dilaksanakan sesuai prosedur. Tapi, bagi sang pengawal, ada penyalahgunaan surat tersebut. Keduanya masih tetap bertahan dengan argumen masing-masing.

Yang pasti, hingg saat ini nasib naskah asli Supersemar masih belum jelas juntrungnya. Ada yang menyebutkan surat berada di luar negeri namun ada yang menyebutkan disimpan sebagai arsip dan koleksi pribadi. Namun yang pasti, Supersemar masih di negeri yang bernama antah-barantah. Tidak ada bukti otentik yang menjelaskan dimana keberadaan Supersemar. Entah sampai kapan Supersemar yang melahirkan "Semar Super" ini akan tetap menjadi misteri. Mungkin hanya TUHAN yang tahu karena sang Semar-pun sudah dipangilnya. Coba saja tanya Tuhan, barangkali Semar mengaku di alam sana.......

Sabtu, 08 Maret 2008

Cinema Paradiso dan Awal Sebuah Hasrat









Tanggapan kecil untuk Sakdiyah Maruf








Film bagiku adalah segalanya. Ungkapan tersebut mungkin terlalu berlebihan bagi orang lain, namun tidaklah demikian bagiku. Bagiku, nonton + mengapresiasi sebuah film adalah menu wajib setiap saat—ketika kondisi jiwa ini sedang senang, sedih, ataupun hanya mengambang saja. Melalui film, aku seperti dibawa ke arah dunia serba berkemungkinan, penuh kejutan, ketakterduagaan—mengutip sajaknya Chairil Anwar—“Terbang/Mengenali gurun, sonder ketemu, sonder mendarat// the only possible- non stop flight/”.

Dari film juga, aku belajar dan menemukan banyak karakter yang mampu menopang dan membantuku membentuk sifat dan kepribadianku hingga semakin kuat dan matang. Bahkan menurutku—pengaruhnya jauh lebih terasa apabila dibandingkan misalnya dengan belajar memahami karakter dari kerabat ataupun teman dekat.

Dalam film, aku juga menemukan keindahan kompleks dari berbagai hal di dalamnya. Cerita yang bagus, angle-angle gambar yang artistic, acting yang memukau, dan musik yang indah. Lihatlah misalnya dalam film Cinema Paradiso karya Giuseppe Tornatore itu. Film Italia ini menceritakan persahabatan antara seorang anak kecil (Salvatore) dengan seorang projectionist (Alfredo) sebuah bioskop pertama (yang bernama Cinema Paradiso) di daerah Sisilia Italia pada tahun 1940-an.


Cerita bermula ketika Salvatore dewasa mendengar berita kematian Alfredo. Sontak berita tersebut mengembalikan memori indahnya bersama Alfredo semasa kecilnya dulu. Alur cerita pun flashback ke tahun 1940-an ketika Salvatore masih imut dan berusia 6-7 tahunan. Ketika Salvatore seusia itu, bioskop baru masuk ke Sisilia sebagai bentuk kesenian dan kebudayaan yang baru sama sekali. Tak heran apresiasi dan sambutan masyarakat di situ sangat tinggi. Begitu pun juga yang dirasakan Salvatore kala itu—sangat terpukau dengan “keajaiban” film.
Cinema Paradiso adalah satu-satunya gedung bioskop yang ada di situ. Dan tak heran, setiap pemutaran film, antrean penonton membludak luar biasa. Projectionist Cinema Paradiso adalah bernama Alfredo—seorang yang ramah dan baik, berusia sekitar 40 or 50 tahunan. Alfredo berteman baik dengan Toto kecil (panggilan akrab Salvatore). Setiap pemutaran film, Toto selalu mendampingi Alfredo dan perlahan-lahan menjadi asisten tersayangnya.


Banyak adegan menarik yang ada di film ini. Lihat saja, ketika para pendeta lokal bertindak sebagai “LSF”nya Cinema Paradiso secara langsung. Film-film yang membutuhkan pemadam kebakaran, alias film-film hot—yang banyak adegan erotisnya, diputar secara tertutup terlebih dahulu oleh Alfredo dan disaksikan oleh para pendeta yang kemudian memberi instruksi untuk “memotong” sebuah adegan ketika dirasa adegan tersebut mengandung unsur erotis meskipun belum tentu cabul. Dan lihatlah, ketika film-film tersebut lolos sensor dan diputar bebas ke penonton, setiap ada adegan yang “berindikasi” erotis, atau sedang dalam kondisi yang mau “memuncak”, tiba-tiba saja terpotong dan berganti adegan selanjutnya yang sudah “netral”. Para penonton—yang terdiri dari orang dewasa, remaja, dan anak-anak, laki-laki dan perempuan, sontak memaki dan memprotes sembari berteriak “huuu…” ketika gagal menonton adegan “yang diharapkan” tersebut. Dari ruang projectionist, Alfredo (dan Toto) hanya tersenyum simpul menyaksikan ulah para penontonnya. Tak heran, scene ini membuatku tersenyum kagum mengapresiasi sebuah fragmen skenario yang hebat dari film ini.
Kembali ke cerita, suatu waktu, terjadi accident yang memilukan ketika ruang projectionist terbakar sehingga mengakibatkan mata Alfredo buta. Kejadian ini sangat menyedihkan Toto dan Alfredo. Akibat peristiwa ini, praktis tugas sebagai projectionist diemban Toto kecil dengan pengarahan Alfredo.


Cerita kemudian berlanjut ketika Toto menginjak remaja. Toto melanjutkan belajarnya sebagai seorang calon sineas di Roma. Dalam kurun usia remaja ini juga diceritakan tentang kisah cinta Toto terhadap seorang gadis yang sungguh manis. Di sini, ditampilkan bagaimana perjuangan Toto dalam mengambil hati gadis tersebut. Ketika usaha awalnya cenderung belum berhasil memikat hati gadis pujaannya, Toto kemudian berikrar pada si gadis bahwa dia akan setia menunggu “jawaban” setiap malamnya dengan berdiri dan memandangi kamar si gadis semalaman. Malam demi malam pun dilalui Toto dengan pengorbanannya tersebut. Hujan dan badai, sama sekali tak menyurutkan niat dan perjuangannya itu. Hati gadis mana yang tak tersentuh dengan perjuangan seorang pemuda yang cukup tampan, dan baik, yang menghendaki cintanya seperti itu. Si gadis akhirnya pun runtuh hatinya, dan bersedia membalas cinta Toto. So sweet…
Huh… sungguh luar biasa…aku hanya terpaku menyaksikan adegan-demi adegan yang memukau tersebut.


Film ini berakhir ketika Toto dewasa datang lagi ke Sisilia berkabung untuk kematian Alfredo. Ketika datang ke kota kecilnya tersebut, Cinema Paradiso masih tegak berdiri namun dengan wajah kusam, karena sudah tidak digunakan lagi sebagai gedung bioskop. Toto memandang masygul ke arah gedung tersebut. Gedung yang telah memberikan banyak kenangan manis untuknya, yang dulu menjadi primadona tempat hiburan masyarakat di situ, kini telah pensiun dan hanya menjadi seonggok bangunan yang muram. Toto perlahan memasuki gedung tersebut, sembari merasakan kehadiran dan kehangatan Alfredo yang disayanginya meskipun telah tiada. Di ruang projectionist, Toto menemukan gulungan film yang “agak misterius”. Penasaran dengan gulungan film ini, Toto kemudian memutar dan menontonnya. Pada moment inilah film ini menemukan puncak keindahan dramatiknya. Ternyata gulungan film itu adalah potongan-potongan film hasil sensoran para pendeta, yang dulu—oleh Alfredo—tidak dibuang atau dibakar, tetapi malah dirangkai menjadi sebuah montase yang memukau. Toto takjub menyaksikan potongan-potongan film yang berisikan various of kissing scene itu. Dulu sewaktu masih kecil, dia dilarang Alfredo ketika ingin ikut nonton film hasil sensoran tersebut. Adegan ini semakin sempurna dan begitu menyejukkan hati, ketika “dihajar” dengan backsound yang memikat dari composer Ennio Morricone. Ohhh…so fu*%^# perfect scene…


Tak heran film ini mendapat banyak pujian dari banyak kalangan. Academy Award 1989 mengganjarnya dengan penghargaan film berbahasa asing terbaik kala itu dan Festival Film Cannes 1989 menghadiahinya Special Jury Prize.

***

Cinema Paradiso aku tonton sewaktu masih kelas 2 atau 3 SMA dulu. Melalui film inilah terbuka mataku melihat film bukan hanya sebagai objek hiburan pemuas sesaat saja alias sebagai “sampah” budaya pop. Dan juga, kalau sebelumnya, wawasanku hanyalah pada film-film Hollywood yang stereotype, melalui film ini aku menjadi sadar bahwa ada “the others” yang sangat special dan selama ini luput dari pengamatanku.


Cinema Paradiso dan film-film sejenisnya yang selanjutnya kutonton semacam The Road Home (Zhang Yimou), Amelie (Jean Juennet), City of God (Fernando Meirelles), Amores Perros (Alejandro G. Inarritu), The Sea Inside (Alejandro Amenabar), Elephant (Gus van Sant) dan Rashomon (Akira Kurosawa), menurutku mempunyai kekuatan yang dahsyat sehingga dapat membuatnya eternal dikenang oleh para pengagumnya. Seperti kebanyakan film yang berkarakter kuat, film-film ini mungkin tidak sedap ditonton oleh penonton kebanyakan, yang hanya memerlukan satisfication sesaat—kemudian melupakannya begitu saja. Film-film ini juga—bagi mereka (pecinta budaya pop) mungkin tidak seru untuk ditonton, tidak menghibur, dan cenderung aneh. Sikap ini menurutku wajar saja untuk ada. Masyarakat pecinta budaya pop memang berkarakter begitu. Mungkin adanya analisis kebudayaan yang menyebutkan bahwa terdapat kategorisasi “budaya tinggi” yang bersifat elit, khusus, dan eksklusif dan “budaya massa” yang bersifat nge-pop dan massif ada benarnya juga.


Namun bagiku, pemilahan kategori tersebut yang menyebabkan kita— secara sosiologis berkebudayaan—bisa mendapatkan/memilih “posisi” tertentu atau sebuah “tempat” tertentu dari kedua kategori itu adalah benar adanya, tapi tidaklah sepenuhnya menjadi tujuan utama. Lebih lagi menurutku (secara pribadi), sebagai audience yang “otonom” (kalo istilah ini masih dianggap relevan) yang mempunyai kebebasan berselera dan berapresiasi dalam memilih suatu karya kebudayaan atau kesenian (dalam hal ini adalah film), faktor kedalaman dan keunikan artistik— termasuk keindahan-keindahan metafora di dalamnya, humanity values yang mencerahkan, dan orientasi penciptaan karya film yang tidak hanya menghamba pada kerakusan uang secara keterlaluan, melainkan lebih bervisi pada idealisme—adalah faktor yang sangat penting untuk dijadikan “standar” seleksi untuk menentukan, apakah film ini harus aku tonton, perlu aku tonton, atau hanyalah “sampah” yang aku buang ke keranjang sampah saja.
Pilihan dan kecintaan kita terhadap suatu karya seni inilah yang kemudian secara otomatis menentukan posisi kita sendiri dalam peta audience secara sosiologis.


Meski demikian, secara pribadi aku tidak begitu peduli mau ditempatkan/disebut sebagai “kaum elit” atau apa akibat pilihanku ini. Yang menjadi orientasi dan prioritasku dalam memilih dan menikmati suatu karya seni (audience) hanyalah faktor-faktor seperti telah kusebutkan di atas. Namun demikian, kadang-kadang pula aku temukan suatu karya seni pop yang juga bagus. Lihatlah pesona AADC karya Rudi Sujarwo itu, atau dalam industri pop Hollywood kita temukan film klasik Cassablanca, Titanic karya James Cameroon dan Lord of the Ring-nya Peter Jackson yang berhasil menyedot jutaan penonton. Karya ini sangat pop dan secara pribadi (without hypocrite) aku juga menyukainya. Tidak semua karya pop brengsek, asal dia kreatif dan tidak hanya menjadi hamba sahaya bagi uang (baca: produser) secara berlebihan dalam proses penciptaannya. Pertemuan antara idealisme estetik dengan modal yang bagus, sering pula terjadi dan ini merupakan hal yang sangat wajar. Kita bisa melihat banyak film yang “berhasil” setelah mengawinkan dua elemen ini. Kalau petanya Hollywood, kita bisa melihat di film Jurrassic Park, Lord of the Ring, Saving Private Ryan, dan Star Wars (kualitas estetik untuk film-film ini yang cenderung mengandalkan visual effect menurutku sangat relatif dan kontekstual: tergantung oleh ruang dan waktu). Ada juga film Hollywood yang dengan modal cekak, tapi dengan ramuan estetik yang tinggi, sehingga berhasil mengatrol eksistensi film tersebut ke puncak penghargaan para audience-nya, misalnya saja Crash, Mystic River, Million Dollar Baby, Boys Don’t Cry, American Beauty, Sideways, dan Little Miss Sunshine. Meskipun begitu, anggapan saya ini tentu saja sangat bisa didebatkan.


Sebagai perbandingan lain, ada juga kasus menarik menurutku yang menjadi catatan buruk seorang sineas yang mengorbankan idealismenya pada pasar. Sebagai contoh, lihatlah Rudi Sujarwo—salah seorang sutradara perintis kebangkitan era baru perfilman Indonesia. Film-film rilisan awalnya sangat kukagumi termasuk Bintang Jatuh, dan AADC. Rudi berhasil membawa warna baru dalam dunia film Indonesia yang kala itu tengah terpuruk. Bintang Jatuh lumayan bagus dan AADC satu tingkat di atasnya menurutku. Film-film dia berikutnya cukup lumayan bagus juga, seperti misalnya Mengejar Matahari dan 9 Naga, idealisme tetap ada di situ meski hasilnya tidak lagi sekuat AADC. Namun setelah itu, aku terkejut binti terperanjat, ketika dia ikut-ikutan bikin film hantu yang di Indonesia sedang ngetrend sekarang ini. Dia bikin Pocong 1 (yang tak lolos sensor LSF), Pocong 2 (berhasil beredar di pasaran) dan sekarang yang mau rilis adalah 40 hari Bangkitnya Pocong. Apa-apan ini?! Aku hampir nggak percaya dengan pilihan Rudi ini. Apakah Rudi tergiur dengan godaan uang sehingga bersedia mengorbankan idealismenya yang semula aku kagumi itu? Aku kira benarlah anggapanku ini, dan tentunya aku merasa kecewa. Sikap idealisme telah runtuh oleh kekuasaan uang. Sungguh menyedihkan bukan…

***
Takhsinul Khuluq
Jakarta, 8 Maret 2008

Rabu, 05 Maret 2008

Menggusur Korupsi dengan Tafsir dan Fiqih

Tikus2

Memberantas korupsi di Indonesia bukanlah perkara yang sepele. Korupsi telah menghegemoni kehidupan masyarakat Indonesia. Korupsi muncul di (hampir) semua bagian masyarakat Indonesia. Tidak hanya dalam penanganan masalah sampah, korupsi juga merambah hingga dalam pembangunan rumah ibadah. Terbukti, Korupsi tidak hanya berada di wilayah profan namun juga ke bidang yang bersifat religius.

Yang patut dicatat, Korupsi muncul bukan hanya karena kesempatan namun juga karena adanya kemauan atau niat. Agama sebagai penjaga moral diharapkan mampu menjadi benteng bagi umat untuk melawan niat melakukan korupsi. Hal ini karena Islam juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya berdasarkan etika dan moral. Dalam agama Islam, dinyatakan bahwa mengambil yang bukan menjadi hak seseorang adalah dosa. Hal ini kemudian dijadikan sebagai pijakan dasar untuk melawan Korupsi.

Untuk itu, melawan koprupsi tidak hanya bisa dilakukan dengan merubah pandangan masyarakat atau umat. Yang lebih penting adalah merubah paradigma umat tentang korupsi dengan perspektif agama dan untuk merubah perpsepktif tentang agama itu sendiri. Hal ini karena korupsi tidak saja mencakup perliku ansich namun juga mencakup pola pikir. Fatwa yang menyatakan korupsi sebagai perbuatan haram bisa berubah jika tidak dilawan dengan upaya mengubah persepsi dan nalar manusia secara teologis.

Ibarat penyakit, korupsi di Indonesia sudah begitu akut dan menggerogoti semua sendi. Berdasarkan Transparancy International (TI) tentang Coruption Perception Index (CPI), pada tahun 2002 Indonesia berada di peringkat ke-enam terkorup dari 102 negara. Indonesia duduk sejajar dengan Bangladesh, Nigeria, Paraguay, Madagaskar dan Angola. Pada tahun 2004 kondisi Indonesia semakin parah terjerembab di urutan 135 dari 145 negara serta menduduki no 2 terburuk di Asia. Kondisi ini kian hari bukan kian membaik, namun justru semakin terperosok.

Menurut berbagai analisis pihak-pihak yang berkompeten, korupsi terjadi karena dua hal. Pertama pelaksanaan negara yang tidak transparan serta kontrol yang lemah sehingga menyuburkan lahan korupsi. Kedua pemberantasan korupsi yang canggung dan tidak memberikan efek jera terhadap koruptor. Pembuatan perangkat hukum berupa UU terbukti tidak berpengaruh signifikan. Punhalnya dengan pembentukan berbagai alat negara sebagai panglima dalam pemberantasan korupsi yang tidak mampu bekerja maksimal.

Kita mungkin cukup jengah penegakan supremacy hukum di Indonesia. Maka menyandarkan pemberantasan korupsi hanya melalui jalur hukum nampaknya masih seperti harus membenturkan kepala ke tembok tebal. Harus dipikirkan alternatif lain untuk melakukan gerakan mendobrak pelaku korup yang dianggap telah membudaya. Dengan melakukan perlawanan melalui budaya dan religi akan dihasilkan watak manusia-manusia yang ber-etika dan anti korupsi.

Agama bisa digunakan sebagai alternatif. Dalam Islam disebutkan bahwa korupsi merupakan perbuatan fasad yakni perbuatan merusak tatanan kehidupan yang pelakunya dikategorikan sebagai jinayah kubro. Menurut Islam, korupsi merupakan tindakan amoral yang bertentangan secara diametral dengan nilai luhur seorang muslim. Seorang muslim dituntut untuk bersifat al shadiq (jujur) dan al Amin (menjunjung amanah). Koruptor mempunyai sifat berkebalikan yaitu al thama (serakah) dan al Kadzib (penipu). Hal ini sejalan dengan prinsip Islam bahwa kekayaan negara harus di-tasharauff-kan dengan jujur untuk kemaslahatan umat.

Harta hasil kekayaan yang didapat dari korupsi termasuk harta yang haram. Katagori haram karena cara memperolehnya dengan jalan yang tidak benar. Namun, paradigma haram ini seringkali dipelintir. Harta yang cara memperolehnya haram selamanya akan tetap haram. Ma kharuma akhduhu kharuma ighdho luhu (sesuatu yang haram mengambilnya, haram pula memberikannya). Tidak ada alasan uang korupsi menjadi halal jika digunakan untuk kegiatan amal. Paradigma ini tentu saja akan menyuburkan korupsi di kalangan umat beragama.

Perilaku korupsi muncul sebagai bentuk penyelewengan terhadap amanah. Di dalam Al Qur’an Surat (QS) An Nisa 4; 58, disebutkan bahwa pemimpin mempunyai kewajiban untuk menyampaikan amanah kepada yang berhak. Demikian pula dengan QS Al Anfal, 8; 27 disebutkan kepada umat Islam untuk tidak mengkhianati amanat. QS Al Baqarah 2;283 juga mengatur agar umat menyampaikan amanah publik untuk kemaslahatan umat.

Penyelewengan terhadap amanah publik menjadi jinayah kubro. Korupsi dikatagorikan sebagai hirabah (perbuatan memerangi Allah dan Rosul) sebagaimana perbuatan qathu ath Thariq atau sariqah kubro (pencurian besar). Korupsi dikatagorikan sebagai perbuatan melawan Allah dan menjadi dosa besar karena mengancam jiwa dan harta banyak orang, menimbulkan kerusakan di bumi serta dampak yang diakibatkan lebih massif.

Islam sebagai agama eskatologis, mengajarkan kepada semua umatnya untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatannya. Dalam QS Al Maidah,5;42, disebutkan bahwa memakan harta korupsi sama dengan memakan barang haram. Sanksinya secara sosial; dikucilkan dari masyarakat, serta kesaksiaannya tidak lagi diakui. Bahkan, seorang koruptor secara moral dalam etika Islam diharapkan dikenai sanksi sebagai orang yang tercela dan tidak disholatkan jenazahnya ketika mati.

Bagi umat Islam yang paling berat adalah sanksi terhadap pelaku korupsi di akhirat. Berdasarkan tafsir dan Fiqih, Korupsi dapat mencegah pelakunya masuk surga. Bahkan lebih dari itu, Korupsi dapat menjerumuskan pelakunya ke dalam neraka. Hal ini karena harta hasil korupsi termasuk suht (melincinkan kepentingan kolega). Harta korupsi juga akan membebani pelakunya di hari kiamat karena korupsi termasuk ghulul (khianat). Dengan melakukan pendekatan agama dan mengerti sanksi korupsi, bisa dimungkinkan niat untuk melakukan korupsi bisa berkurang. Soal sanksi, wallohu alam bisshowab.

Selasa, 04 Maret 2008

HOW ‘HIP’ARE YOU?


Film dan Tempat Kita di Dunia


Hip atau Cool adalah beberapa kosakata yang sering dipake untuk menyebut orang atau komunitas yang memiliki kriteria tertentu. Hip atau Cool dalam Bahasa Indonesia bisa diartikan dengan keren,walaupun artinya tidak persis seperti itu. Apakah saat ini kita termasuk orang yang keren? Atau sebelum menjawab pertanyaan itu, sebenarnya seberapa penting sih menjadi keren bagi kita? Bagaimana kita bisa menjadi keren atau tidak keren? Apa saja ukurannya? Siapa yang menentukan?

Berdasarkan pengalaman pribadi saja, sepertinya menjadi keren mungkin memang penting bagi saya. Pengalaman yang akan saya ceritakan ini tidak terjadi satu-dua kali saja tetapi berulang kali dan bahkan pada saat-saat interaksi saya dengan diri sendiri.

Saya sangat suka film. Sejak SD atau bahkan sebelum itu, sudah terbiasa menonton film. Sampai saat ini, saya masih sangat suka menonton film, bahkan bisa dibilang tiada hari tanpa menonton film. Film-film yang saya tonton berubah dari waktu ke waktu. Bisa dibilang, makin dewasa film-film yang saya tonton makin ‘serius’ dari segi tema, penceritaan, sinematografi, dan lain-lain. Saya menjadi tidak suka lagi film-film yang saya anggap ‘ringan.’ Pada banyak kesempatan, ketika teman atau saudara saya mempromosikan satu film yang menurut dia bagus, saya menanggapinya dengan datar saja. Saya ini kan penyuka film-film kelas festival film dunia, ‘masa film remaja gitu dibilang bagus!’ Kadang saya berkata demikian dalam hati.

Hal yang sama terjadi pada interaksi saya dengan diri saya sendiri ketika saya mengunjungi tempat-tempat persewaan film. Kadang saya sangat ini menyewa film yang ‘ringan’ saja supaya terhibur, tapi akhirnya I ended up menyewa film-film ‘serius’ tadi. “Who am I kidding?” begitu kata saya pada diri saya sendiri, kadang dengan nada bangga, kadang dengan nada kecewa.

Akhirnya konsumsi memang masalah selera. Dan soal selera ini, saya punya pengalaman menarik yang lain. Saya meyakini bahwa selera itu dibentuk dan memang benar bahwa selera itu dibentuk. Masalahnya dibentuk oleh siapa? Masih berkaitan dengan film, saya meyakini bahwa selera saya akan film dibentuk dari kebiasaan saya menonton film sejak kecil, ketertarikan pada buku-buku, dan kesukaan berdiskusi. Dengan latar belakang seperti itulah saya saat ini menyukai film-film ‘serius’ yaitu film-film kelas festival dunia.

Keyakinan seperti ini yang membuat saya kadang memandang orang lain yang suka menonton film-film ‘ringan’ sebagai “tidak punya selera” dan oleh karenanya berada pada komunitas yang berbeda dengan saya dalam konotasi yang mengandung sikap menganggap baik atau menganggap buruk orang lain?

Maka tiba-tiba ‘punya selera’ menjadi terminology untuk menyebut komunitas yang ‘elite.’ Dan dengan menjadi bagian dari komunitas yang ‘elite’ saya menjadi “keren.” Lalu siapa yang menentukan itu elite atau tidak elite? Keren atau tidak keren? Siapa yang memberi ukuran? Berhakkah saya kemudian ikut-ikutan menilai orang lain?

Masih berkaitan dengan film, festival dan penghargaan film adalah salah satu penentu keren atau tidak kerennya, bagus atau tidak bagusnya sebuah film. Sebagai suatu hal yang diterima secara internasional, kita setuju saja bahwa film pemenang Oscar atau pemenang Festival De Cannes adalah film yang baik. Terlepas dari bahwa diantara sekian penghargaan film tersebut mereka punya ukuran ke-‘keren’-an sendiri-sendiri, paling tidak penghargaan-penghargaan film tersebut telah berhasil menciptakan standarisasi tertentu yang dapat diterima. Lagi pertanyaannya, siapa yang membuat mereka, para juri dan penyelenggara festival, punya otoritas untuk menjadi standarisasi? Tidakkah standarisasi itu bisa didebat? Lalu jika standarisasinya saja masih diperdebatkan, bagaimana dengan penikmat film yang most of the time hanya mengkonsumsi dan menggantungkan status ke-‘keren’-an diri pada standarisasi keren dan tidak keren yang ‘dapat diterima’ itu?

Untuk menjawab pertanyaan ini, Indonesia memiliki contoh yang menarik. Festival Film Indonesia (FFI) yang diakui menjadi standarisasi bagus tidaknya sebuah film. Sebagai sebuah standar, tentu saja penonton film pemenang FFI berada pada kelompok yang ‘somehow’ lebih keren, daripada mereka yang menonton film-film yang diputar pada acara Bioskop Dewasa di salah satu stasiun TV itu. Namun, FFI 2006 membuktikan bahawa standarisasi bisa saja salah. Aksi penolakan sejumlah sineas terhadap hasil FFI 2006 mengawali babak baru perdebatan di kalangan masyarakat pembuat film dan masyarakat penikmat film di Indonesia.

Di tengah perdebatan ini, saya memihak siapa? Sebagai sekadar konsumen, saya memilih untuk memihak Riri Reza dan kawan-kawan yang menolak hasil FFI. Mengapa? Simply, because saya lebih suka karya-karya mereka daripada karya yang menang FFI. “I mean, Ekskul jadi juara? Yang bener aja! Mereka itu kan penjiplak, ceritanya tidak mengakar, mengada-ada, tidak memiliki kedalaman nilai-nilai humanity sama sekali” begitu saya berargumentasi. Lho, again, pertanyaan yang sama muncul, siapa sih yang berhak menentukan sesuatu itu punya nilai atau tidak punya nilai? Pada kondisi di mana sebuah standar sudah tidak lagi punya kekuatan atau sudah ‘tidak dapat diterima’ kita menjadi otonom. Otonom untuk menerima atau menolak, otonom untuk memilih. Memilih di antara sebaran luas makna-makna dan simbol-simbol yang siap dikonsumsi.

Pada pengalaman saya ternyata ketika saya pada posisi otonom, nyatanya saya tidak sepenuhnya otonom. Pilihan saya tetap dipengaruhi oleh standar-standar di atas standar festival, misalnya standar kedalaman nilai kemanusiaan yang terekam dalam tema-tema film dan lain sebagainya. Standar kedalaman nilai kemanusiaan itu kemudian ditentukan oleh wacana intelektual yang sedang dominan dan bisa diterima. Sebenarnya masih banyak yang bisa lebih jauh diperdebatkan, misalnya di luar dominasi wacana yang membentuk standar-standar ke-‘keren’-an, adakah standar kebagusan yang bisa diterima universal? Atau sebenarnya karya yang seperti apa yang benar-benar bisa dibilang baik? Namun perdebatan ini belum akan kita kupas saat ini.

Akhirnya kita melihat bahwa memilih film, keberpihakan terhadap sikap kelompok film tertentu adalah bagian dari tindakan konsumsi kita. Dan pada konsumsi kita membentuk identitas dan menceburkan diri pada tatanan masyarakat tertentu. Dengan mengkonsumsi kita menentukan tempat kita di dunia. Pada kasus film yang kita bahas ini, maka menonton film tertentu memberi kita tempat pada suatu masyarakat dan sekaligus memberi kita ruang untuk membentuk masyarakat tersebut. Masyarakat yang ‘keren’ dengan segala kriterianya menurut kita sendiri. Masyarakat ‘utopis’ yang kita bentuk melalui konsumsi film kita. Mengapa menceburkan diri dalam suatu masyarakat atau membentuk masyarakat itu?

Jawabannya adalah karena sebenarnya kita hanya ingin punya tempat. Maka menjawab pertanyaan di atas tentang seberapa penting untuk menjadi keren? Jawabannya adalah tidak penting. Yang penting adalah punya tempat. Perkara tempat itu memberi implikasi citra keren atau tidak keren nyatanya tidak terlalu penting karena itu hanyalah persoalan siapa yang berkuasa dan mendominasi wacana dan trend saat ini saja, sedangkan kebanyakan kita toh hanya mengkonsumsi, hanya bermain-main dengan, atau bahkan dimainkan oleh kelompok yang sedang dominan. *** Sakdiyah Ma’ruf (Jum’at, 28 Februari 2008)

Perdebatan selanjutnya:

Ketika mengkonsumsi kita otonom atau malah terjajah?

Sejauh mana proses negosiasi terjadi antara keinginan, hasrat, dan serbuan pilihan-pilihan item konsumsi baru?

Lalu bagaimana mengkontekstualisasikan ide-ide ini ke kondisi sosial yang lebih luas?