Sabtu, 08 Maret 2008

Cinema Paradiso dan Awal Sebuah Hasrat









Tanggapan kecil untuk Sakdiyah Maruf








Film bagiku adalah segalanya. Ungkapan tersebut mungkin terlalu berlebihan bagi orang lain, namun tidaklah demikian bagiku. Bagiku, nonton + mengapresiasi sebuah film adalah menu wajib setiap saat—ketika kondisi jiwa ini sedang senang, sedih, ataupun hanya mengambang saja. Melalui film, aku seperti dibawa ke arah dunia serba berkemungkinan, penuh kejutan, ketakterduagaan—mengutip sajaknya Chairil Anwar—“Terbang/Mengenali gurun, sonder ketemu, sonder mendarat// the only possible- non stop flight/”.

Dari film juga, aku belajar dan menemukan banyak karakter yang mampu menopang dan membantuku membentuk sifat dan kepribadianku hingga semakin kuat dan matang. Bahkan menurutku—pengaruhnya jauh lebih terasa apabila dibandingkan misalnya dengan belajar memahami karakter dari kerabat ataupun teman dekat.

Dalam film, aku juga menemukan keindahan kompleks dari berbagai hal di dalamnya. Cerita yang bagus, angle-angle gambar yang artistic, acting yang memukau, dan musik yang indah. Lihatlah misalnya dalam film Cinema Paradiso karya Giuseppe Tornatore itu. Film Italia ini menceritakan persahabatan antara seorang anak kecil (Salvatore) dengan seorang projectionist (Alfredo) sebuah bioskop pertama (yang bernama Cinema Paradiso) di daerah Sisilia Italia pada tahun 1940-an.


Cerita bermula ketika Salvatore dewasa mendengar berita kematian Alfredo. Sontak berita tersebut mengembalikan memori indahnya bersama Alfredo semasa kecilnya dulu. Alur cerita pun flashback ke tahun 1940-an ketika Salvatore masih imut dan berusia 6-7 tahunan. Ketika Salvatore seusia itu, bioskop baru masuk ke Sisilia sebagai bentuk kesenian dan kebudayaan yang baru sama sekali. Tak heran apresiasi dan sambutan masyarakat di situ sangat tinggi. Begitu pun juga yang dirasakan Salvatore kala itu—sangat terpukau dengan “keajaiban” film.
Cinema Paradiso adalah satu-satunya gedung bioskop yang ada di situ. Dan tak heran, setiap pemutaran film, antrean penonton membludak luar biasa. Projectionist Cinema Paradiso adalah bernama Alfredo—seorang yang ramah dan baik, berusia sekitar 40 or 50 tahunan. Alfredo berteman baik dengan Toto kecil (panggilan akrab Salvatore). Setiap pemutaran film, Toto selalu mendampingi Alfredo dan perlahan-lahan menjadi asisten tersayangnya.


Banyak adegan menarik yang ada di film ini. Lihat saja, ketika para pendeta lokal bertindak sebagai “LSF”nya Cinema Paradiso secara langsung. Film-film yang membutuhkan pemadam kebakaran, alias film-film hot—yang banyak adegan erotisnya, diputar secara tertutup terlebih dahulu oleh Alfredo dan disaksikan oleh para pendeta yang kemudian memberi instruksi untuk “memotong” sebuah adegan ketika dirasa adegan tersebut mengandung unsur erotis meskipun belum tentu cabul. Dan lihatlah, ketika film-film tersebut lolos sensor dan diputar bebas ke penonton, setiap ada adegan yang “berindikasi” erotis, atau sedang dalam kondisi yang mau “memuncak”, tiba-tiba saja terpotong dan berganti adegan selanjutnya yang sudah “netral”. Para penonton—yang terdiri dari orang dewasa, remaja, dan anak-anak, laki-laki dan perempuan, sontak memaki dan memprotes sembari berteriak “huuu…” ketika gagal menonton adegan “yang diharapkan” tersebut. Dari ruang projectionist, Alfredo (dan Toto) hanya tersenyum simpul menyaksikan ulah para penontonnya. Tak heran, scene ini membuatku tersenyum kagum mengapresiasi sebuah fragmen skenario yang hebat dari film ini.
Kembali ke cerita, suatu waktu, terjadi accident yang memilukan ketika ruang projectionist terbakar sehingga mengakibatkan mata Alfredo buta. Kejadian ini sangat menyedihkan Toto dan Alfredo. Akibat peristiwa ini, praktis tugas sebagai projectionist diemban Toto kecil dengan pengarahan Alfredo.


Cerita kemudian berlanjut ketika Toto menginjak remaja. Toto melanjutkan belajarnya sebagai seorang calon sineas di Roma. Dalam kurun usia remaja ini juga diceritakan tentang kisah cinta Toto terhadap seorang gadis yang sungguh manis. Di sini, ditampilkan bagaimana perjuangan Toto dalam mengambil hati gadis tersebut. Ketika usaha awalnya cenderung belum berhasil memikat hati gadis pujaannya, Toto kemudian berikrar pada si gadis bahwa dia akan setia menunggu “jawaban” setiap malamnya dengan berdiri dan memandangi kamar si gadis semalaman. Malam demi malam pun dilalui Toto dengan pengorbanannya tersebut. Hujan dan badai, sama sekali tak menyurutkan niat dan perjuangannya itu. Hati gadis mana yang tak tersentuh dengan perjuangan seorang pemuda yang cukup tampan, dan baik, yang menghendaki cintanya seperti itu. Si gadis akhirnya pun runtuh hatinya, dan bersedia membalas cinta Toto. So sweet…
Huh… sungguh luar biasa…aku hanya terpaku menyaksikan adegan-demi adegan yang memukau tersebut.


Film ini berakhir ketika Toto dewasa datang lagi ke Sisilia berkabung untuk kematian Alfredo. Ketika datang ke kota kecilnya tersebut, Cinema Paradiso masih tegak berdiri namun dengan wajah kusam, karena sudah tidak digunakan lagi sebagai gedung bioskop. Toto memandang masygul ke arah gedung tersebut. Gedung yang telah memberikan banyak kenangan manis untuknya, yang dulu menjadi primadona tempat hiburan masyarakat di situ, kini telah pensiun dan hanya menjadi seonggok bangunan yang muram. Toto perlahan memasuki gedung tersebut, sembari merasakan kehadiran dan kehangatan Alfredo yang disayanginya meskipun telah tiada. Di ruang projectionist, Toto menemukan gulungan film yang “agak misterius”. Penasaran dengan gulungan film ini, Toto kemudian memutar dan menontonnya. Pada moment inilah film ini menemukan puncak keindahan dramatiknya. Ternyata gulungan film itu adalah potongan-potongan film hasil sensoran para pendeta, yang dulu—oleh Alfredo—tidak dibuang atau dibakar, tetapi malah dirangkai menjadi sebuah montase yang memukau. Toto takjub menyaksikan potongan-potongan film yang berisikan various of kissing scene itu. Dulu sewaktu masih kecil, dia dilarang Alfredo ketika ingin ikut nonton film hasil sensoran tersebut. Adegan ini semakin sempurna dan begitu menyejukkan hati, ketika “dihajar” dengan backsound yang memikat dari composer Ennio Morricone. Ohhh…so fu*%^# perfect scene…


Tak heran film ini mendapat banyak pujian dari banyak kalangan. Academy Award 1989 mengganjarnya dengan penghargaan film berbahasa asing terbaik kala itu dan Festival Film Cannes 1989 menghadiahinya Special Jury Prize.

***

Cinema Paradiso aku tonton sewaktu masih kelas 2 atau 3 SMA dulu. Melalui film inilah terbuka mataku melihat film bukan hanya sebagai objek hiburan pemuas sesaat saja alias sebagai “sampah” budaya pop. Dan juga, kalau sebelumnya, wawasanku hanyalah pada film-film Hollywood yang stereotype, melalui film ini aku menjadi sadar bahwa ada “the others” yang sangat special dan selama ini luput dari pengamatanku.


Cinema Paradiso dan film-film sejenisnya yang selanjutnya kutonton semacam The Road Home (Zhang Yimou), Amelie (Jean Juennet), City of God (Fernando Meirelles), Amores Perros (Alejandro G. Inarritu), The Sea Inside (Alejandro Amenabar), Elephant (Gus van Sant) dan Rashomon (Akira Kurosawa), menurutku mempunyai kekuatan yang dahsyat sehingga dapat membuatnya eternal dikenang oleh para pengagumnya. Seperti kebanyakan film yang berkarakter kuat, film-film ini mungkin tidak sedap ditonton oleh penonton kebanyakan, yang hanya memerlukan satisfication sesaat—kemudian melupakannya begitu saja. Film-film ini juga—bagi mereka (pecinta budaya pop) mungkin tidak seru untuk ditonton, tidak menghibur, dan cenderung aneh. Sikap ini menurutku wajar saja untuk ada. Masyarakat pecinta budaya pop memang berkarakter begitu. Mungkin adanya analisis kebudayaan yang menyebutkan bahwa terdapat kategorisasi “budaya tinggi” yang bersifat elit, khusus, dan eksklusif dan “budaya massa” yang bersifat nge-pop dan massif ada benarnya juga.


Namun bagiku, pemilahan kategori tersebut yang menyebabkan kita— secara sosiologis berkebudayaan—bisa mendapatkan/memilih “posisi” tertentu atau sebuah “tempat” tertentu dari kedua kategori itu adalah benar adanya, tapi tidaklah sepenuhnya menjadi tujuan utama. Lebih lagi menurutku (secara pribadi), sebagai audience yang “otonom” (kalo istilah ini masih dianggap relevan) yang mempunyai kebebasan berselera dan berapresiasi dalam memilih suatu karya kebudayaan atau kesenian (dalam hal ini adalah film), faktor kedalaman dan keunikan artistik— termasuk keindahan-keindahan metafora di dalamnya, humanity values yang mencerahkan, dan orientasi penciptaan karya film yang tidak hanya menghamba pada kerakusan uang secara keterlaluan, melainkan lebih bervisi pada idealisme—adalah faktor yang sangat penting untuk dijadikan “standar” seleksi untuk menentukan, apakah film ini harus aku tonton, perlu aku tonton, atau hanyalah “sampah” yang aku buang ke keranjang sampah saja.
Pilihan dan kecintaan kita terhadap suatu karya seni inilah yang kemudian secara otomatis menentukan posisi kita sendiri dalam peta audience secara sosiologis.


Meski demikian, secara pribadi aku tidak begitu peduli mau ditempatkan/disebut sebagai “kaum elit” atau apa akibat pilihanku ini. Yang menjadi orientasi dan prioritasku dalam memilih dan menikmati suatu karya seni (audience) hanyalah faktor-faktor seperti telah kusebutkan di atas. Namun demikian, kadang-kadang pula aku temukan suatu karya seni pop yang juga bagus. Lihatlah pesona AADC karya Rudi Sujarwo itu, atau dalam industri pop Hollywood kita temukan film klasik Cassablanca, Titanic karya James Cameroon dan Lord of the Ring-nya Peter Jackson yang berhasil menyedot jutaan penonton. Karya ini sangat pop dan secara pribadi (without hypocrite) aku juga menyukainya. Tidak semua karya pop brengsek, asal dia kreatif dan tidak hanya menjadi hamba sahaya bagi uang (baca: produser) secara berlebihan dalam proses penciptaannya. Pertemuan antara idealisme estetik dengan modal yang bagus, sering pula terjadi dan ini merupakan hal yang sangat wajar. Kita bisa melihat banyak film yang “berhasil” setelah mengawinkan dua elemen ini. Kalau petanya Hollywood, kita bisa melihat di film Jurrassic Park, Lord of the Ring, Saving Private Ryan, dan Star Wars (kualitas estetik untuk film-film ini yang cenderung mengandalkan visual effect menurutku sangat relatif dan kontekstual: tergantung oleh ruang dan waktu). Ada juga film Hollywood yang dengan modal cekak, tapi dengan ramuan estetik yang tinggi, sehingga berhasil mengatrol eksistensi film tersebut ke puncak penghargaan para audience-nya, misalnya saja Crash, Mystic River, Million Dollar Baby, Boys Don’t Cry, American Beauty, Sideways, dan Little Miss Sunshine. Meskipun begitu, anggapan saya ini tentu saja sangat bisa didebatkan.


Sebagai perbandingan lain, ada juga kasus menarik menurutku yang menjadi catatan buruk seorang sineas yang mengorbankan idealismenya pada pasar. Sebagai contoh, lihatlah Rudi Sujarwo—salah seorang sutradara perintis kebangkitan era baru perfilman Indonesia. Film-film rilisan awalnya sangat kukagumi termasuk Bintang Jatuh, dan AADC. Rudi berhasil membawa warna baru dalam dunia film Indonesia yang kala itu tengah terpuruk. Bintang Jatuh lumayan bagus dan AADC satu tingkat di atasnya menurutku. Film-film dia berikutnya cukup lumayan bagus juga, seperti misalnya Mengejar Matahari dan 9 Naga, idealisme tetap ada di situ meski hasilnya tidak lagi sekuat AADC. Namun setelah itu, aku terkejut binti terperanjat, ketika dia ikut-ikutan bikin film hantu yang di Indonesia sedang ngetrend sekarang ini. Dia bikin Pocong 1 (yang tak lolos sensor LSF), Pocong 2 (berhasil beredar di pasaran) dan sekarang yang mau rilis adalah 40 hari Bangkitnya Pocong. Apa-apan ini?! Aku hampir nggak percaya dengan pilihan Rudi ini. Apakah Rudi tergiur dengan godaan uang sehingga bersedia mengorbankan idealismenya yang semula aku kagumi itu? Aku kira benarlah anggapanku ini, dan tentunya aku merasa kecewa. Sikap idealisme telah runtuh oleh kekuasaan uang. Sungguh menyedihkan bukan…

***
Takhsinul Khuluq
Jakarta, 8 Maret 2008

Tidak ada komentar: