Sekalipun telah berlangsung lebih dari empat dasawarsa, Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) masih diselimuti misteri. Selubung misteri ini pun tak ayal menuai kontroversi karena Supersemar dijadikan legitimasi peralihan kekuasaan—meminjam istilah Asvi Marwan Adam “Kudeta Merangkak”.
Supersemar dipelintir sebagai penyerahan mandat dari Presiden Soekarno kepada Soeharto—waktu itu berpangkat Letjend dan menduduki jabatan Menteri Panglima Angkatan Darat. Dengan surat ini, Soeharto kemudian mengambil alih kewenangan Soekarno hingga kemudian diangkat oleh DPR/MPR sebagai Presiden ke II.
Namun, sebagai surat yang berpengaruh sangat besar, hingga sekarang kebaradaan surat ini belum bisa ditemukan. Berbagai pihak yang terlibat dalam pelemik surat sakti ini sudah uzur dimakan usia. Sulit untuk melakukan rekonstruksi jika hanya mengandalkan ingatan dari para aktor sejarah ini. Sebut saja Soeharto—sebagai aktor utama—terganggu ingatannya karena didera berbagai penyakit yang tidak saja menggerogoti tubuhnya tetapi juga menghapus memori di kepalanya.
Supersemar—sebagai surat sakti—untuk keperluan penulisan sejarah tetap perlu diuji kebenarannya. Walaupun implikasi politiknya semakin kecil, karena Soeharto bukan lagi menjabat Presiden, keberadaan surat ini perlu diketahui masyarakat. Kepentingannya agar bangsa ini bisa belajar dan tidak lagi menjadi “bangsa keledai” yang terperosok ke dalam permasalahan yang sama beberapa kali.
Kontroversi Supersemar menjadi isu yang hangat karena menyangkut peralihan kekuasaan bahkan dianggap sebagai coup de etat secara halus. Ada berbagai versi yang menceritakan proses lahirnya surat ini. Namun, sebenarnya ada tokoh kunci untuk menguak misteri Supersemar yaitu Jenderal (purn) Amir Machmud, Jenderal (purn) Basuki Rahmat dan juga Jenderal (purn) M Yusuf yang pada saat itu menemui Soekarno di Istana Bogor.
Banyak pihak yang masih berseteru soal kemunculan Supersemar. Ada yang menuding ketiga Jenderal (M. Yusuf, Basuki Racmat, Amir Machmud) memaksa Soekarno untuk menandatangani surat. Bahkan menurut keterangan Letnan Satu Sukardjo Wilardjito—pengawal presiden—ketiga Jenderal tersebut menodongkan senjatanya ke arah Soekarno. Hal senada dibenarkan mantan komandan Cakrabirawa Brigadir Jenderal Sabur maupun Wakil Perdana Menteri I Soebandrio.
Pengakuan ini dibantah oleh Mantan Mesesneg Moerdiono maupun Mantan Wapres Soedharmono. Menurut Moerdiono dan Soedharmonoinisiatif keluarnya surat berasal dari ketiga Jenderal tersebut. Mereka berdiskusi dengan Soekarno tentang situasi negara yang dalam kondisi kritis dan mengusulkan agar menyerahkan kewenangan kepada Soeharto selaku Pangkopkamtib untuk menyelesaikan masalah. Soekarno menyetujui usulan ketiga jenderal tersebut dengan membuat Supersemar.
Bukan hanya soal bagaimana munculnya Supersemar, polemik juga muncul tatkala ada beberapa versi Supersemar. A. Pambudi dalam historiografinya berjudul “Supersemar Palsu, Kesaksian Tiga Jenderal”.menyebutkan terdapat tiga versi Supersemar. Menurut Pambudi, dari tiga versi Supersemar diketahui ada perbedaan dalam hal format penulisan maupun kop surat yang digunakan. Yang lebih gila lagi, tandatangan Presiden Soekarno juga berbeda antara surat satu dengan lainnya. A.Pambudi merinci, dari ketiga surat, diketahui 21 perbedaan.
Sebenarnya telah banyak usaha untuk menyingkap tabir misteri keberadaan Supersemar. Sebut saja misalnya hostoriografi karya A.M. Hanafi—mantan Dubes Kuba yang diberhentikan secara inkonstitusional oleh Soeharto dalam bukunya—“Menggugat Kudeta Soeharto", Tidak hanya dari kalangan akademisi dan sejarahwan, M.Yusuf sebagai aktor juga berusaha mengungkap dalam biografinya yang berjudul “Jenderal M. Jusuf Penglima Para Prajurit”. Bahkan, sudah berapa ratus kali diadakan diskusi ataupun seminar untuk mencari kebenaran Supersemar, namun tetap masih gelap.
Berbagai research juga sudah direncanakan dengan berupaya memanggil para aktor sejarah seperti M Yusuf. Namun, sebelum semuanya terungkap, saksi kunci M. Yusu—saksi terakhir dari tiga jenderal yang menemui Soekarno—meninggal dunia pada 8 September 2004 sebelum memberikan keterangan tentang Supersemar. Saksi kunci peristiwa ini sudah tidak ada lagi. Soeharto sebagai pemegang mandat sudah berdiam meninggal dan di kebumikan di Astana Giri Bangun di penghujung 2007 kemarin.
Yang tersisa sekarang hanya saksi pelaku sejarah. Bukan aktor utama dalam peristiwa tersebut. Dalam terminologi sejarah mereka disebut “an eye withness history”. Sebut saja seperti Sukardjo Wilardjito yang mantan pengawal presiden kemudian Mantan Komandan Satgas 11 Maret. Bahkan, dalam diskusi pagi tadi di salah-satu tv swasta, keduanya masih berbeda pendapat. Bahkan, sang mantan Dansatgas dengan tegas menyatakan, penelusuran Supersemar tidak penting dilakukan. Semua sudah dilaksanakan sesuai prosedur. Tapi, bagi sang pengawal, ada penyalahgunaan surat tersebut. Keduanya masih tetap bertahan dengan argumen masing-masing.
Yang pasti, hingg saat ini nasib naskah asli Supersemar masih belum jelas juntrungnya. Ada yang menyebutkan surat berada di luar negeri namun ada yang menyebutkan disimpan sebagai arsip dan koleksi pribadi. Namun yang pasti, Supersemar masih di negeri yang bernama antah-barantah. Tidak ada bukti otentik yang menjelaskan dimana keberadaan Supersemar. Entah sampai kapan Supersemar yang melahirkan "Semar Super" ini akan tetap menjadi misteri. Mungkin hanya TUHAN yang tahu karena sang Semar-pun sudah dipangilnya. Coba saja tanya Tuhan, barangkali Semar mengaku di alam sana.......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar